Jumat, 26 Februari 2016

MAKALAH PARADIGMA SOSIOLOGI DAN URGENSI SOSIAL

MAKALAH PARADIGMA SOSIOLOGI DAN URGENSI SOSIAL


 


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur kami  panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Paradigma Sosiologi dan Urgensi Sosial’. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
            Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Dosen yang bersangkutan dan merupakan prasyarat dalam memperoleh nilai tugas pada mata kuliah Pengantar Sosiologi. Makalah ini berisi penjelasan mengenai definisi paradigma dalam sosiologi dan urgensi sosial dan teori-teori dalam paradigma.
Mungkin dalam penyusunan makalah ini terdapat kekurangan, sehingga dibutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, baik dari rekan-rekan maupun dari dosen demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Kami berharap malakah ini dapat berguna sebagai bahan pembelajaran sosiologi. Semoga Allah SWT selalu menyertai dan meridhoi kita bersama. Amin.
  
                                                           

Depok, 20 Oktober 2015


Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................              iii
DAFTAR ISI………………………………………………………              iv
1. BAB I PENDAHULUAN…………………………………........            
1.1 Latar Belakang................………………………………              1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………         1
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………..                 1
1.4 Metode…………………………………………….......               2
1.5 Kegunaan……………………………………………....              2
1.6 Sistematika……………………………………………...             2

2. BAB II ISI : Penyimpangan Sosial...............................................
2.1 Definisi Penyimpangan Sosial............................................          4
2.2 Macam macam Perilaku Menyimpang………………………      8
2.3 Ciri ciri Perilaku Menyimpang...........………………….. 9
2.4 Jenis jenis Perilaku Menyimpang..………………………            13
2.5 Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang....................................  16
2.6 Teori teori Perilaku Menyimpang..............................................    23
2.7 Fungsi Perilaku Menyimpang......................................................36

3. BAB III PENUTUP………………………………………………
3.1 Kesimpulan………………………………………………           39

4. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………        40

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
            Sebutan paradigma pada masa sebelumnya belum terlalu nampak mencolok namun setelah Thomas Khun memperkenalkannya melalui bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution”, University of Chicago Press, Chicago, 1962 menjadi begitu terkenal yang membicarakan tentang Filsafat Sains. Sosiologi sebagai keilmuan mengenai kehidupan sosial berikut semua teori-teori yang ada di dalamnya menyumbangkan peran peting dalam kebijakan yang akan diambil terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Peranan penting sosiologi tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata, karena demi mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana telah tercantum dalam Pancasila, diperlukan data-data yang akurat mengenai masyarakat Indonesia. Hasil riset yang dilakukan para sosiolog dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pijakan dalam perencanaan pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, urgensi sosial beserta seluruh teorinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan menjadi suatu hal yang penting sekali untuk dibahas.

1.2    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah definisi paradigma?
2.      Apa sajakah teori-teori dalam paradigma?
3.      Apakah definisi urgensi sosial?

1.3    TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.      Dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Pengantar Sosiologi
2.      Memahami pengertian paradigma
3.      Memahami teori-teori di dalam paradigma
4.      Memahami pengertian urgensi sosial

1.4 METODE

Penulis menyusun makalah ini dengan tinjauan pustaka melalui buku, internet, dll.

1.5 KEGUNAAN

      Kegunaan makalah “Paradigma Sosiologi dan Urgensi Sosial” ini adalah:
1.      Agar pembaca dapat memahami pengertian paradigma
2.      Agar pembaca dapat memahami teori-teori dalam paradigma
3.      Agar pembaca dapat mengetahui pendapat para tokoh tentang paradigma
4.      Agar pembaca memahami pengertian urgensi sosial

1.6 SISTEMATIKA

      Sistematika dari makalah ini adalah:
1.      Bab I   : Pendahuluan

1.1  Latar Belakang
1.2  Permasalahan
1.3  Tujuan penulisan
1.4  Metode
1.5  Kegunaan
1.6  Sistematika

2.      Bab II  : Pembahasan : “Paradigma Sosiologi dan Urgensi Sosial”

2.1  Paradigma.
2.2  Definisi sosiologi.
2.3  Teori Fungsionalisme Struktural.
2.4  Teori Konflik.
2.5  Teori Evolusioner.
2.6  Definisi Urgensi Sosial.

3.      Bab III            : Penutup

3.1  Kesimpulan















BAB 2
    PEMBAHASAN

2.1 PARADIGMA
Menurut Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolutions” paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu.
Kuhn melihat adanya kesalahan fundamental tentang image atau konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang mempertahankan dogma yang diwarisi dari empirisme dan rasionalisme klasik. Tujuan Kuhn menulis bukunya adalah untuk menunjukkan bahwa kita telah disesatkan oleh sketsa tentang konsep sains yang berbeda sekali, yang dapat muncul dari rekaman sejarah kegiatan riset itu sendiri.

Paradigma dan Normal Science
Dalam buku Kuhn, “sains yang normal” berarti riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi praktik selanjutnya. Orang-orang yang risetnya didasarkan atas paradigma bersama terikat pada kaidah-kaidah dan standar-standar praktik ilmiah yang sama. Komitmen itu serta konsensus yang jelas yang dihasilkannya merupakan prasyarat bagi sains yang normal, yaitu bagi penciptaan dan kesinambungan tradisi riset tertentu.
Dalam penggunaanya yang telah mapan, paradigma adalah model atau pola yang diterima. Akan tetapi, tidak lama lagi akan jelas bahwa pengertian “model” dan “pola” yang memungkinkan pengambilan “paradigma” itu tidak sama dengan pengertian yang biasa digunakan untuk mendefinisikan “paradigma”. Dalam penerapan yang baku, paradigma berfungsi memperbolehkan replikasi contoh contoh yang masing-masing pada prinsipnya dapat menggantikannya. Di pihak lain, dalam sebuah sains paradigma jarang merupakan objek bagi replikasi. Akan tetapi, seperti keputusan yudikatif yang diterima dalam hukum tak tertulis, ia adalah objek bagi pengutaraan dan rincian lebih lanjut dalam keadaan yang baru atau yang lebih keras.
Untuk menemukan hubungan antara kaidah, paradigma dan sains yang normal perhatikan lebih dulu bagaimana sejarahwan mengisolasi tempat-tempat tertentu dari komitmen yang baru saja diuraikan sebagai kaidah-kaidah yang diterima. Penyelidikan historis yang cermat terhadap suatu spesialitas tertentu pada masa tertentu menyingkapkan seperangkat keterangan yang berulang dan tentang berbagai teori dalam penerapan konseptual, observasional, dan instrumental. Inilah paradigma-paradigma masyarakat yang diungkapkan dalam buku-buku teks, ceramah-ceramah, dan praktik-praktik laboratoriumnya. Dengan mempelajarinya dan dengan mempraktikannya bersama mereka, anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan itu memperlajari kejuruan mereka. Tentu saja selain itu sejarahwan akan menemukan daerah penumbra yang ditempati pencapaian-pencapaian yang statusnya masih diragukan, tetapi inti masalah masalah dan tekniknya biasanya akan menjadi jelas. Meskipun kadang-kadang terdapat ambiguitas, paradigma-paradigma masyarakat sains yang matang bisa ditentukan dengan relatif mudah.
Penentuan paradigma-paradigma bersama itu, bukan penentuan kaidah-kaidah bersama. Hal ini menuntut langkah kedua. Ketika melakukannya, sejarahwan harus membandingkan paradigma-paradigma masyarakat itu satu sama lain dan dengan laporan-laporan riset pada masa itu. Tujuannya adalah ialah menemukan unsur-unsur yang dapat diisolasi secara gamblang, yang oleh para anggota masyarakat itu bisa jadi telah diringkaskan dari paradigma yang lebih global dan digunakan sebagai kaidah dalam riset mereka.

Anomali dan Munculnya Penemuan Sains
Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara, telah melanggar perngharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang banyak diperluas  pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir jika teori paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yanng diharapkan.
Dalam sains, kebaruan hanya akan muncul dengan kesulitan, diwujudkan oleh perlawanan, berlatar-belakangan perngaharapan. Mula-mula  hanya diantisipasi dan biasa yang dialami bahkan dalam keadaan di mana anomali nantinya akan tampak. Namun, perkenalan selanjutnya memang menghasilkan kesadaran akan adanya sesuatu yang salah atau mengaitkan efek itu kepada sesuatu yang menjadi salah pada masa lalu. Kesadaran akan anomali itu membuka periode ketika kategori-kategori konspetual disesuaikan sehingga yang semula beranomali menjadi yang diantisipasi.
Dalam perkembangan sains manapun, paradigma yang pertama biasanya dirasakan untuk menerangkan dengan sangat berhasil kebanyakan pengamatan dan eksperimen yang mudah dijangkau oleh para pemraktik sains. Anomali hanya akan muncul dengan latar belakang yang disajikan oleh paradigma. Dengan memastikan bahwa paradigma itu tidak akan begitu mudah menyerah, perlawanan menjamin bahwa para ilmuwan tidak akan terganggu perhatiannya dan bahwa anomali-anomali yang mengaibatkan perubahan paradigma akan menembus pengetahuan yang ada sampai ke intinya.

Krisis dan Munculnya Teori Sains
       Jika kesadaran akan anomali memainkan peran dalam munculnya jenis-jenis gejala yang baru, maka tidak akan mengejutkan bahwa kesadaran yang serupa, tetapi lebih mendalam merupakan prasyarat bagi semua perubahan teori yang dapat diterima. Kesadaran akan anomali berlangsung begitu lama dan menembus begitu dalam sehingga orang dapat dengan tepat melukiskan sebagai dalam keadaan krisis yang semakin gawat. Karena menuntut penghancuran paradigma secara besar besaran dan perubahan perubahan besar dalam masalah-masalah dan teknik sains yang normal. Kegagalan kaidah-kaidah yang ada merupakan pendahuluan bagi pencarian kaidah-kaidah yang baru.
       Anomali-anomali yang berkepanjangan disebut krisis. Kuhn berasumsi bahwa krisis merupakan prakondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru.

Revolusi Sains
       Revolusi sains menurut Kuhn dianggap sebagai episode perkembangan nonkumulatif yang di dalamnya paradigma lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan. Revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh. Yang lagi-lagi sering terbatas pada subdivisi yang sempit oleh masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam eksplorasi suatu aspek dari alam. Kesadaran akan adanya malafungsi yang dapat menyebabkan krisis itu merupakan prasyarat bagi revolusi. Revolusi berakhir dengan kemenangan total salah satu  di antara dua pihak yang berlawanan. Dan hasil dari revolusi tersebut haruslah berupa kemajuan.
       Paradigma-paradigma baru dilahirkan dari paradigma yang lama. Oleh karena itu mereka biasanya menggunakan banyak kosakata dan peralatan, baik konseptual maupun manipulatif, yang sebelum itu telah digunakan oleh paradigma tradisional. Orang-orang yang menganut suatu  paradigma baru pada tahap awal, harus mempunyai keyakinan bahwa paradigma yang baru itu akan berhasil dengan banyak masalah besar yang dihadapinya. Itulah salah satu alasan mengapa krisis terdahulu ternyata begitu penting. Para ilmuwan yang belum mengalaminya akan jarang menolak bukti yang kuat dari pemecahan masalah untuk mengikuti apa yang dapat dengan mudah ternyata dan secara luas dianggap sebagai kehendak segelintir orang.

2.2 DEFINISI SOSIOLOGI
Sosiologi berasal dari bahasa latin yaitu “Socius” yang berarti kawan dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini di publikasikan pertama kali dalam buku yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” karangan August Comte. Pada umumnya dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Menurut Pitirim Sorokin pengertian sosiologi sebagai suatu ilmu  hubungan dan pengaruh timbal balik aneka gejala sosial seperti gejala ekonomi dan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi, masyarakat dan politik, dan sebagainya.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan itu. ia mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan manusia.
Karena sosiologi ini mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat, maka dengan sendirinya ia meliputi atau sedikitnya rapat bertalian dengan ilmu ilmu masyarakat lainnya, seperti hukum, ekonomi, ilmu jiwa, antropologi, dll.
Singkatnya, sosiologi ini adalah ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakatnya, dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupannya.


2.3 TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL
Ada sebuah tradisi dalam pemikiran sosiologi yang lazim disebut “fungsionalisme”, “fungsionalisme struktural”, “analisis fungsional”, dan “teori fungsional”. Kebaikan yang bersifat relatif dari tradisi fungsionalisme bukan hanya diperdebatkan tetapi juga sering mendapat kritik mendasar yang merusakkan. Walaupun demikian, tradisi tersebut masih dipegang teguh oleh para pengikutnya.
Teori ini menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurut teori ini, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi yang lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim, penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.  Dengan demikian pada tingkat tertentu umpamanya peperangan, ketidaksamaan sosial, perbedaan ras bahkan kemiskinan ‘diperlukan’ oleh suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori ini memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Satu hal yang penting yang dapat disimpulkan adalah bahwa masyarakat menurut kaca mata teori fungsionalisme struktural senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu, bahkan kemiskinan dan kepincangan sosial sekalipun.

Asumsi Dasar
Asumsi dasar dari teori fungsionalisme struktural adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak ada atau hilang dengan sendirinya.

Teori Fungsionalisme Struktural Menurut Para Tokoh
Robert K. Merton
Robert K. Merton berpendapat bahwa  objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti:  peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dll. Hampir semua penganut teori ini berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang lain. Hanya saja menurut Merton pula, sering terjadi pencampuradukkan antara motif-motif subjektif dengan pengertian fungsi. Padahal perhatian fungsionalisme struktural harus lebih banyak ditujukan kepada  fungsi-fungsi dibandingkan motif-motif.
Merton mengutip 3 asumsi atau postulat : Pertama, kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai “suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur”. Yang kedua, fungsionalisme universal menganggap bahwa “seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi fungsi positif”. Ketiga, postulat Indispensibility. Ia menyatakan bahwa “dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan”
Fungsi adalah akibat akibat yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem. Oleh karena itu, fungsi bersifat netral secara ideologis, maka Merton mengajukan pula satu konsep yang disebutnya: disfungsi.. sebagaimana struktur sosial atau pranata sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan fakta-fakta sosial yang lainnya, sebaliknya ia juga dapat menimbulkan akibat-akibat yang bersifat negatif. Contohnya adalah perbudakan dalam sistem sosial Amerika Serikat lama. Perbudakan tersebut jelas fungsional terhadap masyarakat Amerika kulit putih. Karena sistem tersebut dapat menyediakan tenaga buruh yang murah, memajukan ekonomi, serta menjadi sumber bagi status sosial terhadap masyarakat kulit putih. Tetapi sebaliknya, perbudakan mempunyai disfungsi. Sistem perbudakan membuat orang sangat tergantung kepada sistem ekonomi agraris sehingga tidak siap memasuki industrialisasi.
Konsep lain dari Merton yakni mengenai sifat dari fungsi dibedakan atas fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah fungsi yang diharapkan. Fungsi manifes dari institusi perbudakan di atas adalah untuk meningkatkan produktivitas di Amerika Serikat. Sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak diharapkan. Mengakut contoh di atas, fungsi latennya adalah menyediakan kelas rendah yang luas yang memungkinkan peninngkatan status sosial orang kulit putih baik yang kaya maupun miskin.

Talcott Parsons
Salah seorang penganut teori fungsionalisme struktural adalah Talcott Parsons. Fokus penelaahan teori fungsionalisme struktural adalah masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat struktur sosial atau institusi sosial atau stratifikasi sosial yang menggambarkan adanya status dan peran masing masing anggota masyarakat. Aspek penelaahan yang lain adalah fungsi yang dilakukan oleh masing-masing struktur sosial
Pengertian sistem sosial menurut Parsons adalah berkumpulnya sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, dimana aktor-aktor tersebut mempunyai kecendurungan untuk mengoptimalkan kepuasan, yang berhubungan dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam persyaratan sistem-sistem.
Menurut Parsons, agar masyarakat tetap dapat eksis, maka struktur yang ada di dalamnya harus menjalankan fungsi fungsi tertentu. Fungsi fungsi tersebut adalah:
1.      Adaptation atau adaptasi, yaitu suatu sistem harus dapat menanggulangi situasi eksternal dan dapat menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah.
2.      Goal attainment atau pencapaian tujuan, adalah bahwa sistem harus dapat mendefinisikan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.      Integration atau integrasi, yaitu bahwa sistem harus dapat mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya.
4.      Latency atau latensi atau pemeliharaan pola, adalah bahwa sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola pola kultural bersama.
Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri atas, bagian bagian sebagai sub-sub sistem, yang saling berkaitan. Misalnya agama, pendidikan, struktur politik, keluarga, pertahanan keamanan, ekonomi, pers, dsb. Analogi dari sistem sosial adalah organ-organ tubuh manusia, yang saling berhubungan dalam keseluruhan. Setiap organ tubuh mempunyai fungsi spesifik, dengan tugas masing-masing untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan. Seperti organ tubuh, mekanisme fungsional antar bagian masyarakat juga berfungsi demi stabilitas dan pertumbuhan masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural dari Parsons banyak diterapkan dalam organisasi modern dalam negara, provinsi sampai pada organisasi pemerintahan yang paling kecil yaitu kelurahan dan desa. Demikian halnya dengan lembaga lembaga tinggi negara yyang ada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam melaksanakan fungsi negara.
2.4 TEORI KONFLIK
Teori konflik ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionalisme struktural.
Kalau menurut teori fungsionalisme struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, maka menurut teori konflik justru sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur unsurnya. Teori konflik  melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Kontras lainnya adalah bahwa kalau teori fungsionalisme struktural melihat anggota  masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai, dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Tugas utama menganalisa konflik adalah mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan.
Asumsi Dasar
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanyadominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.

Teori Konflik Menurut Para Tokoh
Ralp Dahrendorf
Salah satu aspek dalam teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat akan melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan efektif.


Lewis A. Coser
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. 
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. 
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.


Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1.     Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2.     Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. 
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.


Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser menyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
2. 5 TEORI EVOLUSIONER
Perspektif teori evolusi merupakan perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusi pada umumnya dihubungkan dengan konsep biologi dan memusatkan perhatiannya pada perubahan-perubahan jangka panjang. Perspektif teori evolusi melihat masyarakat, seperti organisme hidup, mengalami perkembangan melalui tahap-tahap menuju suatu kondisi yang kompleks.
Banyak para ahli sosiologi pada awal perkembangan ilmu ini dan juga sesudahnya, menggunakan perspketif teori evolusi dalam memahami masyarakat. Para ahli sosiologi seperti Auguste Comte dan Herbert Spencer serta beberapa ahli lain pada awal perkembangan sosiologi, menggunakan perspektif ini dalam melihat masyarakat, yang melihat evolusi sama dengan perkembangan dan langkah menuju kondisi yang lebih baik. Para ahli ini meyakini bahwa seleksi alam akan dengan sendirinya menggeser untuk kemudian merusak masyarakat yang lemah karena tidak mampu beradaptasi, dan sebaliknya, suatu masyarakat yang kuat akan tetap hidup karena mampu melakukan adaptasi. Masyarakat yang kuat akan tetap lestari karena masyarakat yang demikian lebih baik dari pada masyarakat yang lemah. Ini menjadi alasan bagi para ahli sosiologi dari perspektif ini seperti Spencer untuk menolak adanya campur tangan untuk melindungi masyarakat yang lemah maupun menolak untuk mempengaruhi proses evolusi yang berlangsung secara alamiah.
Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.
  1. Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer.
  1. Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.
  1. Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.
Dalam beberapa dasawarsa perspektif ini kurang mendapat perhatian, namun akhir-akhir ini perspektif evolusi ini kembali berperan. Para ahli sosiologi penganut evolusi dewasa ini pada umumnya berpandangan bahwa evolusi merupakan proses yang menghasilkan suatu perubahan, tetapi mereka tidak beranggapan bahwa perubahan itu akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Meskipun mereka bersepakat bahwa masyarakat senantiasa berkembang menjadi lebih kompleks, tetapi mereka tidak menyatakan bahwa kompleksitas suatu masyarakat yang tinggi akan menghasilkan sesuatu yang baik, atau sebaliknya menghasilkan sesuatu yang buruk.
Semua teori evolusioner memiliki kelemahan tertentu: 1) Data yang menunjang penentuan tahap masyarakat dalam rangkaian tahap seringkali tidak cermat. Dengan demikian, tahap suatu masyarakat ditentukan sesuai dengan tahap yang dianggap paling cocok dengan teori. 2) Urutan tahap tidak sepenuhnya tegas, karena beberapa masyarakat mampu melangkahi beberapa tahapa antara langsunng ke tahap industri atau tahap komunis, serta beberapa masyarakat lainnya bahkan mundur ke tahap terdahulu. 3) Pandangan yang menyatakan perubahan sosial besar akan berakhir ketika masyarakat telah mencapai ‘akhir’, tampaknya merupakan pandangan yang naif.
Walaupun demikian, teori evolusi masih mengandung banyak deskripsi yang cermat. Kebanyakan masyarakat telah beralih dari masyarakat sederhana ke masyarakat kompleks. Sampai pada batas batas tertentu memang ada tahap tahap perkembangan dan pada setiap tahap berbagai unsur budaya terkait ke dalam sistem yang terintegrasi.

Asumsi Dasar
Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh masyarakat. Semua masyarakat itu melalui urutan pentahapan yang sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap perkembangan terakhir. Di samping itu, teori-teori evolusioner menyatakan bahwa manakala tahap terakhir telah dicapai, maka pada saat itu perubahan evolusioner itu pun berakhir.

Teori Evolusioner Menurut Para Tokoh
Herbert Spencer
Herbert Spencer adalah seorang sarjana Inggris yang menulis buku pertama berjudul Principles of Sociology tahun 1896. Sebagaimana halnya dengan kebanyakan sarjana pada masanya, Spencer tertarik pada teori evolusi organisnya Darwin dan ia melihat adanya persamaan dengan evolusi sosial; peralihan masyarakat melalui serangkaian tahap yang berawal dari tahap kelompok suku yang homogen dan sederhana ke tahap masyarakat modern yang kompleks. Spencer menerangkan konsep “yang terkuatlah yang akan menang”nya Darwin terhadap masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang yang cakap akan memenangkan perjuangan hidup.
Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme yang berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tanggung jawab anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum. Latar belakang dari adanya gerak evolusi ini ialah lemahnya semua benda yang serba sama. Misalnya, dalam keadaan sendirian atau sebagai perorangan saja manusia tidak mungkin bertahan. Maka ia merasa diri didorong dari dalam untuk bergabung dengan orang lain, supaya dengan berbuat demikian ia akan dapat melengkapi kekurangannya. Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat: 
  1. Tahap penggandaan atau pertambahan 
    Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde sosial dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah. 
  2. Tahap kompleksifikasi 
    Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.
  3. Tahap pembagian atau diferensiasi 
    Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan sosial (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas sosial. 
  4. Tahap pengintegrasian 
    Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negatif ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia. 

August Comte
Comte, dikenal sebagai Bapak Sosiologi, dan memperkenalkan teori evolusi dalam perubahan sosial. Pada garis besarnya, teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai berikut:
1.      Teori Evolusi menganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan terarah seperti garis lurus, masyarakat berkembang dari masyarakat primitif menuju ke masyarakat maju.
2.      Teori Evolusi membaurkan antara pandangan subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial.
Perubahan menuju masyarakat modern, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita citakan, yang mengandung semua unsur yang disebut baik dan sempurna, di dalamnya terdaapat kemajuan, kemanusiaan, dan siviliasi.
Menurut Comte, terdapat beberapa tahapan perkembangan masyarakat. Setiap tahap perkembangan tersebut adalah akibat penting dari tahap sebelumnya. Perubahan masyarakat seperti itu bersifat umum, artinya perkembangan masyarakat dapat berlaku pada semua masyarakat, sehingga dengan demikian untuk kepentingan penelitian bagaimana suatu masyarakat berkembang, orang dapat mempelajari proses perkembangan masyarakat yang telah maju. Comte menemukan tiga tingkat perkembangan masyarakat sesuai dengan tiga tingkat perkembangan pemikiran manusia. Ketiga tingkat perkembangan manusia yang harus dilewati secara berurutan. Tiga tahapan tersebut adalah: 1) bentuk masyarakat pada tingkat teologis atau khayalan; 2) bentuk masyarakat pada tingkat metafisika atau abstrak; dan 3) bentuk masyarakat pada tingkat ilmiah atau positif
Menurut Comte, ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemajuan manusia. Faktor faktor tersebut adalah: rasa bosan, umur manusia dan demografi. Kebosanan yang dihadapi manusia akan melahirkan sesuatu untuk keluar dari kondisi tersebut, yaitu tindakan untuk berinisiatif mencari alternatif lain yang dianggap lebih baik. Semakin bertambahnya umur manusia, semakin meningkat kebutuhannya, dan mencari jalan untuk memenuhinya. Dengan bertambahnya jumlah penduduk timbul persaingan, dan oleh karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan, manusia mencari jalan terbaik dengan menciptakan berbagai variasi pekerjaan.

2.6 DEFINISI URGENSI SOSIAL
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata urgensi diartikan sebagai “keharusan yang mendesak” dan “hal sangat penting”. Berdasarkan pengertian tersebut, maka penulis mengartikan kata ‘urgensi’ sebagai suatu hal yang sangat penting.
Sedangkan maksud dari  dari “Urgensi Teori dan Sosiologi dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan” adalah peranan penting sosiologi dan teorinya dimana sosiologi memiliki pengaruh besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang terwujud dalam keterkaitan sosiologi dengan ilmu pengetahuan yang lainnya.



BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari Paradigma Sosiologi adalah suatu cara pandang seseorang terhadap ilmu pengetahuan tentang masyarakat dan tindakan-tindakan sosial yang bersifat umum sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita tersebut. Ada tiga teori atau perspektif di dalam paradigma sosiologi yaitu:
  1. Teori Fungsionalisme Struktural
  2. Teori Konflik
  3. Teori Evolusioner
Pengertian Urgensi Sosial adalah peranan penting sosiolog dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek kehidupan lainnya yang terwujud dalam keterkaitan sosiologi dengan berbagai ilmu pengetahuan.








DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Wardi. 2010. Sosiologi Klasik. Cet.2. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Green, Bryan S.R. dan Johns, Edward A. 1966. An Introduction to Sociology. London : Pergamon Press Ltd.
Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. 1992. Sosiologi. Cet.3. Jakarta: Erlangga.
Inkeles, Alex. 1964. What is Sociology?. New Jersey: Prentice Hall.
Kuhn, Thomas S. 2002. The Structure of Scientific Revolution. Cet.4. Bandung:  PT Remaja Rosdakarya
Parwadi, Redatin. 2013. Sosiologi Pembangunan. Cet. 2. Pontianak: Unta Press
Poloma, Margaret M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Cet. 4. Jogjakarta: Rajagrafindo Persada
Ritzer, George. 2012. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Cet.1 . Jakarta: Rajagrafindo Persada
Rose, Jerry D. 1980. Introduction to Sociology. USA: Rand Mcnally College Publishing Company
Zeitlin, Irving .M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Jogjakarta: Gajahmada University Press









Tidak ada komentar:

Posting Komentar