MAKALAH PARADIGMA SOSIOLOGI DAN URGENSI SOSIAL
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Paradigma Sosiologi dan Urgensi
Sosial’. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan makalah ini.
Makalah
ini dibuat guna memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Dosen yang
bersangkutan dan merupakan prasyarat dalam memperoleh nilai tugas pada mata
kuliah Pengantar Sosiologi. Makalah ini berisi penjelasan mengenai definisi paradigma
dalam sosiologi dan urgensi sosial dan teori-teori dalam paradigma.
Mungkin dalam penyusunan makalah ini
terdapat kekurangan, sehingga dibutuhkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak, baik dari rekan-rekan maupun dari dosen demi
kesempurnaan makalah selanjutnya. Kami berharap malakah ini dapat berguna
sebagai bahan pembelajaran sosiologi. Semoga Allah SWT selalu menyertai dan
meridhoi kita bersama. Amin.
Depok, 20 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.................................................................... iii
DAFTAR
ISI……………………………………………………… iv
1. BAB I
PENDAHULUAN…………………………………........
1.1
Latar Belakang................……………………………… 1
1.2
Rumusan
Masalah………………………………………… 1
1.3
Tujuan Penulisan…………………………………….. 1
1.4
Metode……………………………………………....... 2
1.5
Kegunaan…………………………………………….... 2
1.6
Sistematika……………………………………………... 2
2. BAB II ISI : Penyimpangan
Sosial..............................................….
2.1
Definisi
Penyimpangan Sosial............................................ 4
2.2
Macam
macam Perilaku Menyimpang……………………… 8
2.3
Ciri
ciri Perilaku Menyimpang...........………………….. 9
2.4 Jenis jenis Perilaku
Menyimpang..……………………… 13
2.5
Sebab
Terjadinya Perilaku Menyimpang.................................... 16
2.6 Teori teori
Perilaku Menyimpang.............................................. 23
2.7 Fungsi
Perilaku Menyimpang......................................................36
3. BAB III
PENUTUP………………………………………………
3.1 Kesimpulan……………………………………………… 39
4. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………… 40
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Sebutan
paradigma pada masa sebelumnya belum terlalu nampak mencolok namun setelah
Thomas Khun memperkenalkannya melalui bukunya yang berjudul “The Structure of
Scientific Revolution”, University of Chicago Press, Chicago, 1962 menjadi
begitu terkenal yang membicarakan tentang Filsafat Sains. Sosiologi sebagai
keilmuan mengenai kehidupan sosial berikut semua teori-teori yang ada di
dalamnya menyumbangkan peran peting dalam kebijakan yang akan diambil terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi. Peranan penting sosiologi tersebut tidak bisa
dipandang sebelah mata, karena demi mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sebagaimana telah tercantum dalam Pancasila,
diperlukan data-data yang akurat mengenai masyarakat Indonesia. Hasil riset
yang dilakukan para sosiolog dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pijakan
dalam perencanaan pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, urgensi sosial beserta
seluruh teorinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan menjadi suatu hal yang
penting sekali untuk dibahas.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, penyusun merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah definisi paradigma?
2.
Apa sajakah teori-teori dalam
paradigma?
3.
Apakah definisi urgensi sosial?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan makalah ini yaitu:
1.
Dalam rangka menyelesaikan tugas
mata kuliah Pengantar Sosiologi
2.
Memahami pengertian paradigma
3.
Memahami teori-teori di dalam
paradigma
4.
Memahami pengertian urgensi sosial
1.4 METODE
Penulis
menyusun makalah ini dengan tinjauan pustaka melalui buku, internet, dll.
1.5
KEGUNAAN
Kegunaan makalah “Paradigma Sosiologi dan
Urgensi Sosial” ini adalah:
1. Agar
pembaca dapat memahami pengertian paradigma
2. Agar
pembaca dapat memahami teori-teori
dalam paradigma
3. Agar
pembaca dapat mengetahui pendapat para tokoh tentang paradigma
4. Agar
pembaca memahami pengertian urgensi sosial
1.6
SISTEMATIKA
Sistematika dari makalah ini adalah:
1. Bab
I : Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan
penulisan
1.4 Metode
1.5 Kegunaan
1.6 Sistematika
2. Bab
II : Pembahasan : “Paradigma Sosiologi dan Urgensi Sosial”
2.1 Paradigma.
2.2 Definisi
sosiologi.
2.3 Teori
Fungsionalisme Struktural.
2.4 Teori
Konflik.
2.5 Teori
Evolusioner.
2.6 Definisi
Urgensi Sosial.
3. Bab
III : Penutup
3.1 Kesimpulan
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 PARADIGMA
Menurut Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul “The Structure of
Scientific Revolutions” paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai,
metode-metode, prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh
suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu.
Kuhn melihat adanya kesalahan
fundamental tentang image atau konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum
filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang mempertahankan dogma yang diwarisi
dari empirisme dan rasionalisme klasik. Tujuan Kuhn menulis bukunya adalah
untuk menunjukkan bahwa kita telah disesatkan oleh sketsa tentang konsep sains
yang berbeda sekali, yang dapat muncul dari rekaman sejarah kegiatan riset itu
sendiri.
Paradigma
dan Normal Science
Dalam buku Kuhn, “sains yang normal”
berarti riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah
yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika
dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi praktik selanjutnya. Orang-orang yang
risetnya didasarkan atas paradigma bersama terikat pada kaidah-kaidah dan
standar-standar praktik ilmiah yang sama. Komitmen itu serta konsensus yang
jelas yang dihasilkannya merupakan prasyarat bagi sains yang normal, yaitu bagi
penciptaan dan kesinambungan tradisi riset tertentu.
Dalam penggunaanya yang telah mapan,
paradigma adalah model atau pola yang diterima. Akan tetapi, tidak lama lagi
akan jelas bahwa pengertian “model” dan “pola” yang memungkinkan pengambilan
“paradigma” itu tidak sama dengan pengertian yang biasa digunakan untuk
mendefinisikan “paradigma”. Dalam penerapan yang baku, paradigma berfungsi
memperbolehkan replikasi contoh contoh yang masing-masing pada prinsipnya dapat
menggantikannya. Di pihak lain, dalam sebuah sains paradigma jarang merupakan
objek bagi replikasi. Akan tetapi, seperti keputusan yudikatif yang diterima
dalam hukum tak tertulis, ia adalah objek bagi pengutaraan dan rincian lebih
lanjut dalam keadaan yang baru atau yang lebih keras.
Untuk menemukan
hubungan antara kaidah, paradigma dan sains yang normal perhatikan lebih dulu
bagaimana sejarahwan mengisolasi tempat-tempat
tertentu dari komitmen yang baru saja diuraikan sebagai kaidah-kaidah
yang diterima. Penyelidikan historis yang cermat terhadap suatu spesialitas
tertentu pada masa tertentu menyingkapkan seperangkat keterangan yang berulang
dan tentang berbagai teori dalam penerapan konseptual, observasional, dan
instrumental. Inilah paradigma-paradigma
masyarakat yang diungkapkan dalam buku-buku
teks, ceramah-ceramah, dan praktik-praktik
laboratoriumnya. Dengan mempelajarinya dan dengan mempraktikannya bersama
mereka, anggota-anggota masyarakat yang
bersangkutan itu memperlajari kejuruan mereka. Tentu saja selain itu sejarahwan
akan menemukan daerah penumbra yang ditempati pencapaian-pencapaian
yang statusnya masih diragukan, tetapi inti masalah masalah dan tekniknya
biasanya akan menjadi jelas. Meskipun kadang-kadang
terdapat ambiguitas, paradigma-paradigma
masyarakat sains yang matang bisa ditentukan dengan relatif mudah.
Penentuan paradigma-paradigma
bersama itu, bukan penentuan kaidah-kaidah
bersama. Hal ini menuntut langkah kedua. Ketika melakukannya, sejarahwan harus
membandingkan paradigma-paradigma masyarakat
itu satu sama lain dan dengan laporan-laporan
riset pada masa itu. Tujuannya adalah ialah menemukan unsur-unsur
yang dapat diisolasi secara gamblang, yang oleh para anggota masyarakat itu
bisa jadi telah diringkaskan dari paradigma yang lebih global dan digunakan
sebagai kaidah dalam riset mereka.
Anomali
dan Munculnya Penemuan Sains
Penemuan diawali dengan kesadaran
akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara, telah
melanggar perngharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang
normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir
jika teori paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi
yanng diharapkan.
Dalam sains, kebaruan hanya akan
muncul dengan kesulitan, diwujudkan oleh perlawanan, berlatar-belakangan
perngaharapan. Mula-mula hanya
diantisipasi dan biasa yang dialami bahkan dalam keadaan di mana anomali
nantinya akan tampak. Namun, perkenalan selanjutnya memang menghasilkan
kesadaran akan adanya sesuatu yang salah atau mengaitkan efek itu kepada
sesuatu yang menjadi salah pada masa lalu. Kesadaran akan anomali itu membuka
periode ketika kategori-kategori konspetual disesuaikan sehingga yang semula
beranomali menjadi yang diantisipasi.
Dalam perkembangan sains manapun,
paradigma yang pertama biasanya dirasakan untuk menerangkan dengan sangat
berhasil kebanyakan pengamatan dan eksperimen yang mudah dijangkau oleh para
pemraktik sains. Anomali hanya akan muncul dengan latar belakang yang disajikan
oleh paradigma. Dengan memastikan bahwa paradigma itu tidak akan begitu mudah
menyerah, perlawanan menjamin bahwa para ilmuwan tidak akan terganggu
perhatiannya dan bahwa anomali-anomali yang mengaibatkan perubahan paradigma
akan menembus pengetahuan yang ada sampai ke intinya.
Krisis dan
Munculnya Teori Sains
Jika kesadaran
akan anomali memainkan peran dalam munculnya jenis-jenis gejala yang baru, maka
tidak akan mengejutkan bahwa kesadaran yang serupa, tetapi lebih mendalam
merupakan prasyarat bagi semua perubahan teori yang dapat diterima. Kesadaran
akan anomali berlangsung begitu lama dan menembus begitu dalam sehingga orang
dapat dengan tepat melukiskan sebagai dalam keadaan krisis yang semakin gawat.
Karena menuntut penghancuran paradigma secara besar besaran dan perubahan
perubahan besar dalam masalah-masalah dan teknik sains yang normal. Kegagalan
kaidah-kaidah yang ada merupakan pendahuluan bagi pencarian kaidah-kaidah yang
baru.
Anomali-anomali
yang berkepanjangan disebut krisis. Kuhn berasumsi bahwa krisis merupakan
prakondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru.
Revolusi
Sains
Revolusi
sains menurut Kuhn dianggap sebagai episode perkembangan nonkumulatif yang di
dalamnya paradigma lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru
yang bertentangan. Revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh.
Yang lagi-lagi sering terbatas pada subdivisi yang sempit oleh masyarakat
sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam
eksplorasi suatu aspek dari alam. Kesadaran akan adanya malafungsi yang dapat
menyebabkan krisis itu merupakan prasyarat bagi revolusi. Revolusi berakhir
dengan kemenangan total salah satu di
antara dua pihak yang berlawanan. Dan hasil dari revolusi tersebut haruslah
berupa kemajuan.
Paradigma-paradigma
baru dilahirkan dari paradigma yang lama. Oleh karena itu mereka biasanya menggunakan
banyak kosakata dan peralatan, baik konseptual maupun manipulatif, yang sebelum
itu telah digunakan oleh paradigma tradisional. Orang-orang yang menganut suatu
paradigma baru pada tahap awal, harus mempunyai
keyakinan bahwa paradigma yang baru itu akan berhasil dengan banyak masalah
besar yang dihadapinya. Itulah salah satu alasan mengapa krisis terdahulu
ternyata begitu penting. Para ilmuwan yang belum mengalaminya akan jarang
menolak bukti yang kuat dari pemecahan masalah untuk mengikuti apa yang dapat
dengan mudah ternyata dan secara luas dianggap sebagai kehendak segelintir
orang.
2.2 DEFINISI
SOSIOLOGI
Sosiologi berasal dari bahasa latin
yaitu “Socius” yang berarti kawan dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan.
Ungkapan ini di publikasikan pertama kali dalam buku yang berjudul “Cours de
Philosophie Positive” karangan August
Comte. Pada umumnya dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Menurut Pitirim Sorokin pengertian sosiologi sebagai suatu ilmu hubungan dan pengaruh timbal balik aneka
gejala sosial seperti gejala ekonomi dan agama, keluarga dan moral, hukum dan
ekonomi, masyarakat dan politik, dan sebagainya.
Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar
manusia yang menguasai kehidupan itu. ia mencoba mengerti sifat dan maksud
hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan
perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri
kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan manusia.
Karena sosiologi ini mempelajari
manusia sebagai anggota masyarakat, maka dengan sendirinya ia meliputi atau
sedikitnya rapat bertalian dengan ilmu ilmu masyarakat lainnya, seperti hukum,
ekonomi, ilmu jiwa, antropologi, dll.
Singkatnya, sosiologi ini adalah
ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai
anggota golongan atau masyarakatnya, dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan,
kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut
kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupannya.
2.3 TEORI
FUNGSIONALISME STRUKTURAL
Ada sebuah tradisi dalam pemikiran
sosiologi yang lazim disebut “fungsionalisme”, “fungsionalisme struktural”,
“analisis fungsional”, dan “teori fungsional”. Kebaikan yang bersifat relatif
dari tradisi fungsionalisme bukan hanya diperdebatkan tetapi juga sering
mendapat kritik mendasar yang merusakkan. Walaupun demikian, tradisi tersebut
masih dipegang teguh oleh para pengikutnya.
Teori ini menekankan kepada
keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Menurut teori ini, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap
bagian yang lain. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada
sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu
mengabaikan kemungkinan bahwa peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi
menentang fungsi-fungsi yang lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim,
penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah
fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan
demikian pada tingkat tertentu umpamanya peperangan, ketidaksamaan sosial,
perbedaan ras bahkan kemiskinan ‘diperlukan’ oleh suatu masyarakat. Perubahan
dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik,
penganut teori ini memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Satu hal yang penting yang dapat
disimpulkan adalah bahwa masyarakat menurut kaca mata teori fungsionalisme
struktural senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur
dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan struktur yang ada,
fungsional bagi sistem sosial itu, bahkan kemiskinan dan kepincangan sosial
sekalipun.
Asumsi Dasar
Asumsi dasar dari teori fungsionalisme struktural
adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain.
Kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak ada atau hilang dengan
sendirinya.
Teori
Fungsionalisme Struktural Menurut Para Tokoh
Robert K.
Merton
Robert K. Merton berpendapat
bahwa objek analisa sosiologi adalah
fakta sosial seperti: peranan sosial,
pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian
sosial, dll. Hampir semua penganut teori ini berkecenderungan untuk memusatkan
perhatiannya kepada fungsi dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang
lain. Hanya saja menurut Merton pula, sering terjadi pencampuradukkan antara
motif-motif subjektif dengan pengertian fungsi. Padahal perhatian
fungsionalisme struktural harus lebih banyak ditujukan kepada fungsi-fungsi dibandingkan motif-motif.
Merton mengutip 3 asumsi atau
postulat : Pertama, kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai
“suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam
suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur”. Yang
kedua, fungsionalisme universal menganggap bahwa “seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi fungsi positif”. Ketiga, postulat
Indispensibility. Ia menyatakan bahwa “dalam setiap tipe peradaban, setiap
kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi
penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian
penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan”
Fungsi adalah akibat akibat yang
dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem. Oleh
karena itu, fungsi bersifat netral secara ideologis, maka Merton mengajukan
pula satu konsep yang disebutnya: disfungsi..
sebagaimana struktur sosial atau pranata sosial dapat menyumbang terhadap
pemeliharaan fakta-fakta sosial yang lainnya, sebaliknya ia juga dapat
menimbulkan akibat-akibat yang bersifat negatif. Contohnya adalah perbudakan
dalam sistem sosial Amerika Serikat lama. Perbudakan tersebut jelas fungsional
terhadap masyarakat Amerika kulit putih. Karena sistem tersebut dapat
menyediakan tenaga buruh yang murah, memajukan ekonomi, serta menjadi sumber
bagi status sosial terhadap masyarakat kulit putih. Tetapi sebaliknya,
perbudakan mempunyai disfungsi. Sistem perbudakan membuat orang sangat
tergantung kepada sistem ekonomi agraris sehingga tidak siap memasuki
industrialisasi.
Konsep lain dari Merton yakni mengenai
sifat dari fungsi dibedakan atas fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi
manifes adalah fungsi yang diharapkan. Fungsi manifes dari institusi perbudakan
di atas adalah untuk meningkatkan produktivitas di Amerika Serikat. Sedangkan
fungsi laten adalah fungsi yang tidak diharapkan. Mengakut contoh di atas,
fungsi latennya adalah menyediakan kelas rendah yang luas yang memungkinkan
peninngkatan status sosial orang kulit putih baik yang kaya maupun miskin.
Talcott Parsons
Salah seorang penganut teori fungsionalisme struktural adalah Talcott
Parsons. Fokus penelaahan teori fungsionalisme struktural adalah masyarakat
sebagai suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat struktur sosial atau
institusi sosial atau stratifikasi sosial yang menggambarkan adanya status dan
peran masing masing anggota masyarakat. Aspek penelaahan yang lain adalah
fungsi yang dilakukan oleh masing-masing struktur sosial
Pengertian sistem sosial menurut Parsons adalah berkumpulnya sejumlah
aktor individual yang saling berinteraksi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik,
dimana aktor-aktor tersebut mempunyai kecendurungan untuk mengoptimalkan kepuasan,
yang berhubungan dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam
persyaratan sistem-sistem.
Menurut Parsons, agar masyarakat tetap dapat eksis, maka struktur yang
ada di dalamnya harus menjalankan fungsi fungsi tertentu. Fungsi fungsi
tersebut adalah:
1. Adaptation atau adaptasi, yaitu suatu sistem harus
dapat menanggulangi situasi eksternal dan dapat menyesuaikan dengan lingkungan
yang berubah.
2. Goal attainment atau pencapaian tujuan, adalah bahwa
sistem harus dapat mendefinisikan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Integration atau integrasi, yaitu bahwa sistem harus
dapat mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya.
4. Latency atau latensi atau pemeliharaan pola, adalah
bahwa sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi
individual maupun pola pola kultural bersama.
Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri atas,
bagian bagian sebagai sub-sub sistem, yang saling berkaitan. Misalnya agama,
pendidikan, struktur politik, keluarga, pertahanan keamanan, ekonomi, pers,
dsb. Analogi dari sistem sosial adalah organ-organ tubuh manusia, yang saling berhubungan dalam
keseluruhan. Setiap organ tubuh mempunyai fungsi spesifik, dengan tugas masing-masing untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan.
Seperti organ tubuh, mekanisme fungsional antar bagian masyarakat juga
berfungsi demi stabilitas dan pertumbuhan masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural dari Parsons banyak diterapkan dalam
organisasi modern dalam negara, provinsi sampai pada organisasi pemerintahan
yang paling kecil yaitu kelurahan dan desa. Demikian halnya dengan lembaga
lembaga tinggi negara yyang ada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
melaksanakan fungsi negara.
2.4 TEORI KONFLIK
Teori konflik ini dibangun dalam
rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme
struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan
oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori
fungsionalisme struktural.
Kalau menurut teori fungsionalisme
struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam
kondisi keseimbangan, maka menurut teori konflik justru sebaliknya. Masyarakat
senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus di antara unsur unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan
sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Kontras lainnya adalah bahwa kalau
teori fungsionalisme struktural melihat anggota
masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai, dan
moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam
masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan
kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Konsep sentral teori ini adalah
wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Perbedaan wewenang adalah
suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Tugas utama
menganalisa konflik adalah mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam
masyarakat. Oleh karena itu, kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara
penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan
yang saling bertentangan.
Asumsi Dasar
Ada beberapa asumsi dasar dari
teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana
teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik
melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik
melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.
Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanyadominasi, koersi, dan
kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas
yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi
dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat
menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan
bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial
dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik
melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan.
Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan
bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi
yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik,
masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di
masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori
konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
Teori
Konflik Menurut Para Tokoh
Ralp
Dahrendorf
Salah satu aspek dalam teori konflik
Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik
menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik,
golongan yang terlibat akan melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan
perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka
perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu
disertai oleh penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan efektif.
Lewis A.
Coser
Konflik dapat merupakan proses
yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan
struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua
atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali
identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial
sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik
tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami
konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan
praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo-
Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan
wanita). Perang yang terjadi
bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas
kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang
meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak
yang bertentangan akan semakin menajam. Katup
Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai
untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas
sebuah sistem atau struktur.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Konflik
Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang
terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para
partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya
para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau
gaji dinaikkan.
2. Konflik
Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang
antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari
salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan
dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain.
Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai
pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu
kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan
atau agresi.
Akan tetapi apabila konflik
berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik
realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser menyatakan
bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah
tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang
mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti
misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan.
Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana
keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian
merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila
konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang
membahayakan hubungan tersebut.
Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang
meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal
dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok
dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara
keseluruhan. Bila
konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat.
Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu
hubungan yang sehat. Coser sangat
menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya
dalam pandangan negatif saja. Perbedaan
merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak
pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan
kestabilan suatu hubungan.
2. 5 TEORI
EVOLUSIONER
Perspektif teori evolusi merupakan
perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusi pada
umumnya dihubungkan dengan konsep biologi dan memusatkan perhatiannya pada
perubahan-perubahan jangka panjang. Perspektif teori evolusi melihat
masyarakat, seperti organisme hidup, mengalami perkembangan melalui tahap-tahap
menuju suatu kondisi yang kompleks.
Banyak para ahli sosiologi pada awal
perkembangan ilmu ini dan juga sesudahnya, menggunakan perspketif teori evolusi
dalam memahami masyarakat. Para ahli sosiologi seperti Auguste Comte dan
Herbert Spencer serta beberapa ahli lain pada awal perkembangan sosiologi,
menggunakan perspektif ini dalam melihat masyarakat, yang melihat evolusi sama
dengan perkembangan dan langkah menuju kondisi yang lebih baik. Para ahli ini
meyakini bahwa seleksi alam akan dengan sendirinya menggeser untuk kemudian
merusak masyarakat yang lemah karena tidak mampu beradaptasi, dan sebaliknya,
suatu masyarakat yang kuat akan tetap hidup karena mampu melakukan adaptasi.
Masyarakat yang kuat akan tetap lestari karena masyarakat yang demikian lebih
baik dari pada masyarakat yang lemah. Ini menjadi alasan bagi para ahli
sosiologi dari perspektif ini seperti Spencer untuk menolak adanya campur
tangan untuk melindungi masyarakat yang lemah maupun menolak untuk mempengaruhi
proses evolusi yang berlangsung secara alamiah.
Ada bermacam-macam teori tentang
evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear
theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined
theories of evolution.
- Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia
dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan
tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan
akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert
Spencer.
- Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa
perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap.
Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut
Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil
perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.
- Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada
penelitian terhadap tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat.
Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari
sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan
pengairan.
Dalam beberapa dasawarsa perspektif
ini kurang mendapat perhatian, namun akhir-akhir ini perspektif evolusi ini
kembali berperan. Para ahli sosiologi penganut evolusi dewasa ini pada umumnya
berpandangan bahwa evolusi merupakan proses yang menghasilkan suatu perubahan,
tetapi mereka tidak beranggapan bahwa perubahan itu akan menghasilkan sesuatu
yang lebih baik. Meskipun mereka bersepakat bahwa masyarakat senantiasa
berkembang menjadi lebih kompleks, tetapi mereka tidak menyatakan bahwa
kompleksitas suatu masyarakat yang tinggi akan menghasilkan sesuatu yang baik,
atau sebaliknya menghasilkan sesuatu yang buruk.
Semua
teori evolusioner memiliki kelemahan tertentu: 1) Data yang menunjang penentuan
tahap masyarakat dalam rangkaian tahap seringkali tidak cermat. Dengan
demikian, tahap suatu masyarakat ditentukan sesuai dengan tahap yang dianggap
paling cocok dengan teori. 2) Urutan tahap tidak sepenuhnya tegas, karena
beberapa masyarakat mampu melangkahi beberapa tahapa antara langsunng ke tahap
industri atau tahap komunis, serta beberapa masyarakat lainnya bahkan mundur ke
tahap terdahulu. 3) Pandangan yang menyatakan perubahan sosial besar akan
berakhir ketika masyarakat telah mencapai ‘akhir’, tampaknya merupakan
pandangan yang naif.
Walaupun
demikian, teori evolusi masih mengandung banyak deskripsi yang cermat.
Kebanyakan masyarakat telah beralih dari masyarakat sederhana ke masyarakat
kompleks. Sampai pada batas batas tertentu memang ada tahap tahap perkembangan
dan pada setiap tahap berbagai unsur budaya terkait ke dalam sistem yang terintegrasi.
Asumsi
Dasar
Semua
teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang
dilalui oleh masyarakat. Semua masyarakat itu melalui urutan pentahapan yang
sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap perkembangan terakhir.
Di samping itu, teori-teori evolusioner
menyatakan bahwa manakala tahap terakhir telah dicapai, maka pada saat itu
perubahan evolusioner itu pun berakhir.
Teori
Evolusioner Menurut Para Tokoh
Herbert
Spencer
Herbert Spencer adalah
seorang sarjana Inggris yang menulis buku pertama berjudul Principles of Sociology tahun 1896. Sebagaimana halnya dengan
kebanyakan sarjana pada masanya, Spencer tertarik pada teori evolusi organisnya
Darwin dan ia melihat adanya persamaan dengan evolusi sosial; peralihan masyarakat
melalui serangkaian tahap yang berawal dari tahap kelompok suku yang homogen
dan sederhana ke tahap masyarakat modern yang kompleks. Spencer menerangkan
konsep “yang terkuatlah yang akan menang”nya Darwin terhadap masyarakat. Ia
berpandangan bahwa orang yang cakap akan memenangkan perjuangan hidup.
Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme yang berdiri
sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tanggung jawab
anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum. Latar belakang dari adanya gerak
evolusi ini ialah lemahnya semua benda yang serba sama. Misalnya, dalam keadaan
sendirian atau sebagai perorangan saja manusia tidak mungkin bertahan. Maka ia
merasa diri didorong dari dalam untuk bergabung dengan orang lain, supaya
dengan berbuat demikian ia akan dapat melengkapi kekurangannya. Spencer membedakan empat tahap evolusi
masyarakat:
- Tahap penggandaan atau pertambahan
Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde sosial dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah. - Tahap kompleksifikasi
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks. - Tahap pembagian atau diferensiasi
Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan sosial (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas sosial. - Tahap pengintegrasian
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negatif ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia.
August
Comte
Comte, dikenal sebagai
Bapak Sosiologi, dan memperkenalkan teori evolusi dalam perubahan sosial. Pada
garis besarnya, teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai
berikut:
1. Teori
Evolusi menganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan terarah seperti
garis lurus, masyarakat berkembang dari masyarakat primitif menuju ke
masyarakat maju.
2. Teori
Evolusi membaurkan antara pandangan subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir
perubahan sosial.
Perubahan menuju
masyarakat modern, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Masyarakat
modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita citakan, yang mengandung semua
unsur yang disebut baik dan sempurna, di dalamnya terdaapat kemajuan,
kemanusiaan, dan siviliasi.
Menurut Comte, terdapat
beberapa tahapan perkembangan masyarakat. Setiap tahap perkembangan tersebut
adalah akibat penting dari tahap sebelumnya. Perubahan masyarakat seperti itu
bersifat umum, artinya perkembangan masyarakat dapat berlaku pada semua
masyarakat, sehingga dengan demikian untuk kepentingan penelitian bagaimana
suatu masyarakat berkembang, orang dapat mempelajari proses perkembangan
masyarakat yang telah maju. Comte menemukan tiga tingkat perkembangan
masyarakat sesuai dengan tiga tingkat perkembangan pemikiran manusia. Ketiga
tingkat perkembangan manusia yang harus dilewati secara berurutan. Tiga tahapan
tersebut adalah: 1) bentuk masyarakat pada tingkat teologis atau khayalan; 2)
bentuk masyarakat pada tingkat metafisika atau abstrak; dan 3) bentuk
masyarakat pada tingkat ilmiah atau positif
Menurut Comte, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemajuan manusia. Faktor faktor
tersebut adalah: rasa bosan, umur manusia dan demografi. Kebosanan yang
dihadapi manusia akan melahirkan sesuatu untuk keluar dari kondisi tersebut,
yaitu tindakan untuk berinisiatif mencari alternatif lain yang dianggap lebih
baik. Semakin bertambahnya umur manusia, semakin meningkat kebutuhannya, dan
mencari jalan untuk memenuhinya. Dengan bertambahnya jumlah penduduk timbul
persaingan, dan oleh karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan, manusia
mencari jalan terbaik dengan menciptakan berbagai variasi pekerjaan.
2.6
DEFINISI URGENSI SOSIAL
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata urgensi diartikan sebagai “keharusan
yang mendesak” dan “hal sangat penting”. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
penulis mengartikan kata ‘urgensi’ sebagai suatu hal yang sangat penting.
Sedangkan
maksud dari dari “Urgensi Teori dan
Sosiologi dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan” adalah peranan penting sosiologi
dan teorinya dimana sosiologi memiliki pengaruh besar dalam perkembangan ilmu
pengetahuan yang terwujud dalam keterkaitan sosiologi dengan ilmu pengetahuan
yang lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Berdasarkan
pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari Paradigma
Sosiologi adalah suatu cara pandang seseorang terhadap ilmu pengetahuan tentang
masyarakat dan tindakan-tindakan sosial yang bersifat umum sehingga akan
membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita tersebut. Ada tiga teori
atau perspektif di dalam paradigma sosiologi yaitu:
- Teori Fungsionalisme Struktural
- Teori Konflik
- Teori Evolusioner
Pengertian Urgensi
Sosial adalah peranan penting sosiolog dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
aspek kehidupan lainnya yang terwujud dalam keterkaitan sosiologi dengan
berbagai ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Wardi. 2010. Sosiologi Klasik. Cet.2. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Green, Bryan S.R. dan Johns, Edward
A. 1966. An
Introduction to Sociology. London : Pergamon Press Ltd.
Horton, Paul B.
dan Hunt, Chester L. 1992. Sosiologi.
Cet.3. Jakarta: Erlangga.
Inkeles, Alex. 1964.
What is Sociology?. New Jersey:
Prentice Hall.
Kuhn, Thomas S. 2002.
The Structure of Scientific Revolution.
Cet.4. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Parwadi,
Redatin. 2013. Sosiologi Pembangunan.
Cet. 2. Pontianak: Unta Press
Poloma, Margaret
M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Cet.
4. Jogjakarta: Rajagrafindo Persada
Ritzer, George.
2012. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda. Cet.1 . Jakarta: Rajagrafindo Persada
Rose, Jerry D.
1980. Introduction to Sociology. USA:
Rand Mcnally College Publishing Company
Zeitlin, Irving
.M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi.
Jogjakarta: Gajahmada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar