BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Manusia
adalah makhluk sosial. Hampir semua yang kita lakukan dalam kehidupan kita
berkaitan dengan orang lain. Sangat jarang kesempatan kita untuk benar-benar
sendirian. Kajian mengenai bagaimana kita dapat berinteraksi satu sama lain,
dan apa yang terjadi ketika kita berinteraksi, adalah salah satu hal paling
mendasar yang menarik dalam kehidupan manusia. Belum terlalu lama berselang
sejak kira-kira permulaan abad ke-19 dan seterusnya, suatu minat khusus dalam
bidang sosial keberadaan manusia yang mendalam ini dikerjakan secara serius.
Sebelum masa itu, dan bahkan setelah itu, lapangan minat lain mendominasi
analisis kehidupan manusia. Dua pendekatan non-sosial mengenai perilaku manusia
yang paling bertahan lama adalah eksplanasi “naturalistik” dan
“individualistik”.
Eksplanasi
naturalistik berpendapat bahwa semua perilaku manusia termasuk interaksi sosial adalah produk
disposisi yang diwariskan yang kita miliki sebagai makhluk binatang.
Sebagaimana hewan, manusia diprogram secara biologi oleh alam. Di pihak lain,
eksplanasi individualistik mendorong dibangunnya generalisasi besar mengenai
perilaku yang pasti. Dari sudut pandang ini kita semua adalah individual dan
berbeda. Dengan demikian eksplanasi mengenai perilaku manusia akhirnya harus
terletak pada kualitas psikologis yang khusus dan unik dari individu.
Teori-teori sosiologi memiliki posisi kontras yang langsung dengan
pendekatan-pendekatan non-sosial. Meninjau sedikit lebih dekat, dan menemukan
apa yang salah atau tidak lengkap dari pendekatan tersebut , memudahkan kita
untuk memahami mengapa teori-teori sosiologi itu ada.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan
tentang apa yang dimaksud dengan teori dan kegunaan teori sosiologi.
2. Menjelaskan
tentang teori siklus, teori struktural fungsional, teori konflik, teori kritis,
teori feminis, teori modernitas, dan teori evolusi sosial.
1.3
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan teori dan kegunaan teori sosiologi.
2.
Untuk mengetahui teori
siklus, teori struktural fungsional, teori konflik, teori kritis, teori
feminis, teori modernitas, dan teori evolusi sosial.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN TEORI
Suatu
teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau
pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu
yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu,
dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara
dua variabel atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Suatu variabel
merupakan karakteristik dari orang-orang, benda-benda, atau keadaan yang
mempunyai nilai-nilai berbeda, seperti misalnya, usia, jenis kelamin, dan lain
sebagainya.
Richard T. Schaefer
menerangkan dalam buku Sociologynya bahwa,
Sociologist
are not particularly interested in why any one individual commits suiced, they
are more concerned with identifying the
social force that systematically cause some people to take their own lives. In
order to undertake this research, sociologist develop a theory that offers a
general explanation of suicidal behavior. We can think of theories as attemps
to explain events, forces, materials, ideas, or behavior in a comprehensive
manner, in sociology a theory is a set
of statements that seeks to explain problems, actions, or behavior. An
effective theory may have both explanatory and predictive power. That is, it
can help us to see the relationship among seemingly isolated phenomena, as well
as to understand how one type of change in an environment leads to other
change.
2.2
KEGUNAAN
TEORI SOSIOLOGI
Teori sosiologi
mempunyai beberapa kegunaan, yaitu :
1. Suatu
teori atau beberapa teori merupakan ikhtisar hal-hal yang telah diketahui serta
diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang dipelajari sosiologi.
2. Teori
memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang
memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi.
3. Teori
berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari
oleh sosiologi.
4. Suatu
teori akan sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina
struktur konsep-konsep serta memperkembang definisi-definisi yang penting untuk
penelitian.
5. Pengetahuan
teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial,
yaitu usaha untuk dapat mengetahui ke arah mana masyarakat akan berkembang atas
dasar fakta yang diketahui pada masa yang lampau dan pada dewasa ini.
2.3
TEORI-TEORI
SOSIOLOGI
Para
ahli filsafat, sejarah, ekonomi, dan sosiologi telah mencoba untuk merumuskan
orinsip-prinsip atau hukum-hukum perubahan-perubahan sosial. Banyak yang
berpendapat bahwa kecenderungan terjadinya perubahan-[erubahan sosial merupakan
gejala wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia. Ahli lain berpendapat
bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang
mempertahankan keseimbangan masyarakat. Kemudian, ada pula yang berpendapat
bahwa perubahahan-perubahan sosial bersifat periodik dan non-periodik.
Pendapat-pendapat tersebut pada umumnya menyatakan bahwa perubahan merupakan
lingkaran-lingkaran kejadian. Berikut adalah beberapa teori sosiologi yang
masing-masing dibahas oleh tiga tokoh :
2.3.1
TEORI
SIKLUS
2.3.1.1 Ibnu Khaldun
Ibnu khaldun lahir di Tunisia, Afrika Utara, 27 Mei 1332
(Faghrizadeh, 1982). Lahir dari keluarga terpelajar, Ibnu Khaldun dimasukkan ke
sekolah Al-Qur’an, kemudian mempelajari matematika dan sejarah. Semasa hidupnya
ia membantu berbagai sultan di Tunisia, Maroko, Spanyol dan Aljazair sebagai
duta besar, bendaharawan dan anggota dewan penasihat Sultan. Ia pun pernah
dipenjarakan selama 2 tahun di Maroko karena keyakinannya bahwa penguasa negara
bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan. Setelah kurang lebih
dua dekade aktif di bidang politik, Ibnu Khaldun kembali ke Afrika Utara. Di
situ ia melakukan studi dan menulis secara intensif selama 5 tahun. Karya yang
dihasilkan selama 5 tahun itu menungkatkan kemasyhurannya dan menyebabkan ia
diangkat menjadi guru di pusat studi Islam Universitas Al-Azhar di Kairo. Dalam
mengajarkan tentang masyarakat dan sosiologi, Ibnu Khaldun menekankan
pentingnya menghubungkan pemikiran sosiologi dan observasi sejarah. Menjelang
kematiannya pada tahun 1400, Ibnu Khaldun telah menghasilkan sekumpulan karya
yang mengandung berbagai pemikiran yang mirip dengan sosiologi zaman sekarang.
Ia melakukan studi ilmiah tentang masyarakat, riset empiris, dan meniliti
sebab-sebab fenomena sosial. Ia memusatkan perhatian pada nernagai lembaga
sosial (misalnya lembaga politik dan ekonomi) dan hubungan antara lembaga itu.
Ia juga tertarik untuk melakukan studi perbandingan antara masyarakat primitif
dan masyarakat modern. Ibnu Khaldun tak berpengaruh secara dramatis terhadap
sosiologi klasik, tetapi setelah sarjana pada umumnya dan sarjana Muslim
khususnya meneliti ulang karyanya, ia mulai diakui sebagai sejarawan yang
mempunyai signifikan historis.
Ibnu Khaldun
(1332-1406) sudah merumuskan sebuah model tentang suku bangsa nomaden yang
keras dan masyarakat-masyarakat halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang
kontras Karya Ibnu Khaldun tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Al-Muqaddimah tentang sejarah dunia dan sosial budaya yang di pandang sebagai
karya besar di bidang tersebut. Dari kajian
tentang watak masyarakat manusia ,
Khaldun menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding
kehidupan kota dan masing-masing kehidupan ini memiliki karakteristik
tersendiri. Menurut pengamatannya, politik tidak akan timbul terkecuali dengan
penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi kecuali dengan solidaritas.
Lebih jauh
lagi, ia mengemukakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke
kelompok yang menang , baik dalam slogan,
pakaian, kendaraan dan tradisinya. Selain itu, salah satu watak seorang raja
adalah sikapnya yang semuanya mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk
dalam masa senja. Dengan demikian, kebudayaan itu adalah tujuan masyarakat
manusi dan akhir usia senja.
Pendapat
Khaldun tentang watak-watak masyarakat manusia dijadikannya sebagai landasan
konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat fase, yaitu fase primitif atau nomaden fase urbanisasi,
fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengatarkan kehancuran. Kemudian
keempat perkembangan ini oleh Khaldun sering disebut dengan fase pembangunan,
pemberi gambar gembira, penurut, dan penghancur.
Di situ juga
beliau menghasilkan beberapa karya terkenal termasuk al Ibar Wa Diwan Al-Mubtad Wa Al-Khabar. Kitab ini
mengandungi enam jilid dan paling terkenal, kitab Muqaddimah. Sehingga kini kitab itu menjadi rujukan umat Islam, khususnya
dalam ilmu kajian sosial, politik, falsafah dan sejarah.
Istilah
sosiologi walaupun dicipta tokoh kelahiran Perancis abad ke-19, Aguste Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dihurai oleh
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36
tahun.
Ibnu
khaldun, yang agaknya tepat di sebut sebagai Bapak Ilmu Sosial. Berbeda dengan
para pendahulunya ini, karena ia mengemukakan suatu karangan teoritis yang di
satu segi di maksudkan untuk
menjernihkan sejarah, di segi lain kerangka ini memberikan suatu pola deduktif
bagi kebiasaan mengumpulkan data para ahli etnografi kala itu.
a. Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibnu Khaldun manusia di ciptakan sebagai
makhluk politik atau sosial, yaitu Makhluk yang selalu membutuhkan orang lain
dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan
organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury). Pendapat ini agaknya
mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’.
Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk
hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam
waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari
butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang.
Butir-butir gandum tersebut harus di tumbuk dulu, untuk kemudian di bakar
sebelum siap untuk dimakan, dan untuk semuanya itu di butuhkan alat-alat yang
untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu
juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi di butuhkan seorang
petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan
membutuhkan manusia yang lain.
b. Sosiologi Masyarakat Peradaban Badwi, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
:
Selain apa yang telah dipaparkan di atas, Ibn Khaldun
berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah
(العصبـيّØ©). Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya
dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim
lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok,
fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih
sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu
darinya diperlakukan tidak adil atau di sakiti. Ibnu Khaldun dalam hal ini
memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة)(komunitas
pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah
(Øضارة)(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang
alamiah dan Niscaya (dharury).
Penduduk kota menurutnya banyak berurusan dengan hidup
enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka
telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badwi,
meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan
bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan.
Daerah yang subur berpengaruh terhadap persoalan
agama. Orang-orang Badwi yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta
hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam
beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang
yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah
dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup
di padang pasir adalah Orang Zuhud. Orang Badwi lebih berani daripada penduduk
kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam
kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta
kepada penguasa. Sedangkan Orang Badwi hidup memencilkan diri dari masyarakat.
Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan
pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka
sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain. Untuk bertahan hidup
masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang
merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu
klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi
sebuah negeri. Sifat kepemimpinan selalu di miliki orang yang memiliki
solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat
khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus
ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat
umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka
solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada
solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup
memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat
kekuasaan.
Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas
sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab,
apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas
sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya .
Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan
daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian.
Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena
itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang
berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki
melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih
hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah
memiliki kekuasaan daripada golongan lain.
Pendapat Ibnu Khaldun dalam hal ini tidak
mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan
Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar di padang pasir. Tujuan
terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang
mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu
solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari
solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas
sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding.
Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan
bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari
kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu Negara sudah tua umurnya dan para
pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya,
maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga
ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi
demikian, Negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke
dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah
yang terjadi pada Orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas. Akan
tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar
kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan
tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan
solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan di gantikan
oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial.
Menurut Ibnu Khaldun apabila suatu bangsa itu liar,
kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu
memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan
golongan lain tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah kedaulatan.
‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa
bermacam-macam, ikatan darah atau persamaan ke-Tuhanan, tempat tinggal
berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara
pelindung dan yang di lindungi. Khusus Bangsa Arab menurut Ibn Khauldun,
persamaan Ke-Tuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab
menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama
lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin.
‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘Ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan
mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa
oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan di kendalikan . Tetapi
menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap
dibutuhkan solidaritas kelompok (‘Ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh
solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia
membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama .
Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah
Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang
mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku
mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga
kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit.
Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga
tercipta sebuah Dinasti yang besar .
Dalam kaitannya tentang ‘Ashabiyyah, Ibnu Khaldun
menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang
paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban,
serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan
dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi
jika ia berasal dari kelompok yang dominan.
c. Bentuk-Bentuk Pemerintahan
1.
Pemerintahan yang natural (Siyasah Thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa
masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam
memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri
dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati
akibat timbulnya teror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini pada
zaman sekarang menyerupai Pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau
inkonstitusional.
2.
Pemerintahan yang berdasarkan nalar (Siyasah ‘Aqliyah), yaitu Pemerintahan yang
membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan
mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat
oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji
disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman
sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau Kerajaan Insitusional yang
dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu
3.
Pemerintahan yang berlandaskan Agama (Siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan
yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat
keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibnu Khaldun model pemerintahan seperti
inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan
terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat.
Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan
pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara
disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam
memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena
sebagai pemimpin dia ibarat Imam Salat yang harus diikuti oleh rakyatnya
sebagai makmum. Dari pembagian pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibn Khaldun
menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam
pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga
pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu
sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang
yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.
d. Tahapan Timbul Tenggelamnya
Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibnu Khaldun membuat
teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban
menjadi lima tahap, yaitu:
1.Tahap
sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat
(`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.Tahap
tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap
ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut.
Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam
pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan
mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3.Tahap
sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa
tercurah pada usaha membangun negara.
4.Tahap
kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan
segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5.Tahap
hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan
pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal
menunggu kehancurannya.
Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga
generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala
kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk di bawah otoritas kekuasaan
yang didukungnya.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena
diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak
peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil
dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa
memedulikan nasib Negara. Jika suatu Bangsa sudah sampai pada generasi ketiga
ini, maka keruntuhan Negara sebagai Sunnatullah sudah di ambang pintu, dan
menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibnu Khaldun
juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah
ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan
hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan
‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan
cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian
memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula
biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain.
Tahapan-tahapan di atas kemudian
terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori
Siklus.Teori siklus gerak sejarah sebagaimana yang dia pikirkan didasarkan pada
adanya kesamaan sebagian masyarakat satu dengan masyarakat satu dengan masyarat
yang lain. Teori ini sebearnya merupakan tafsir atas pemikiran Khaldun. Khaldun
sendiri sebenarnya tidak menyampaikannya secara eksplisit. Satu hal yang
disampaikan Khaldun secara eksplisit adalah pemikirannya tentang sejarah
kritis.
2.3.1.2
Oswald
Spengler
Oswald Spengler lahir di Blankenburg
(Harz) di Jerman Tengah pada tahun 1880, anak tertua dari empat anak, dan
satu-satunya anak laki-laki. Ayahnya, yang semula teknisi pertambangan dan
berasal dari garis panjang mineworkers, adalah seorang pejabat di pos Jerman
birokrasi, dan ia memberikan keluarganya dengan sederhana namun nyaman di rumah
kelas menengah.
Ketika ia berusia sepuluh tahun
keluarganya pindah ke kota universitas Halle. Spengler menerima pendidikan
Gymnasium klasik, mempelajari bahasa Yunani, Latin, matematika dan ilmu alam.
Disini juga ia mengembangkan afinitas kuat untuk seni – khususnya puisi, drama,
dan musik.
Spengler pada umur 21 tahun.
Spengler mempelajari bidang studi budaya klasik, matematika, dan ilmu-ilmu
fisik. Pendidikan universitasnya sebagian besar dibiayai oleh sebuah warisan
dari almarhum bibi. Ia gagal dalam ujian pertamanya, tetapi ia lulus di ujian
kedua pada tahun 1904 dan kemudian ia menulis disertasi sekunder yang
diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai guru sekolah tinggi. Kemudian ia
pindah ke Düsseldorf dan akhirnya Se Hamburg. Dia mengajar matematika, fisika,
sejarah dan sastra jerman.
Dia menetap di Munich, di sana untuk
menjalani kehidupan sarjana yang independen / filsuf. Dia mulai menulis sebuah
buku pengamatan politik. Awalnya untuk menjadi berjudul Konservatif dan
Liberal, itu direncanakan sebagai sebuah eksposisi dan penjelasan tentang tren
saat ini di Eropa – yang mempercepat perlombaan senjata, Entente “pengepungan”
di Jerman, sebuah suksesi krisis internasional, meningkatkan polaritas dari
bangsa-bangsa – dan mana mereka memimpin. Namun pada akhir 1911 ia tiba-tiba
tersentak oleh gagasan bahwa peristiwa hari hanya dapat ditafsirkan dalam
“global” dan “total-budaya” istilah. Dia melihat Eropa sebagai berbaris pergi
untuk bunuh diri, langkah pertama menuju kematian terakhir budaya Eropa di
dunia dan dalam sejarah.
Perang Besar 1914-1918 hanya
membenarkan dalam pikirannya keabsahan tesis yang sudah dikembangkan. Pekerjaan
yang direncanakannya terus meningkat dalam lingkup yang jauh melampaui batas
aslinya.
Pada tahun 1922 Spengler
mengeluarkan edisi revisi jilid pertama yang berisi koreksi kecil dan revisi,
dan tahun setelah melihat penampilan jilid kedua, dia kemudian puas dengan
pekerjaan, dan semua tulisan-tulisan dan pernyataan-pernyataan.
Pada
awalnya menurut Oswald Spengler untuk menjadi Konservatif dan Liberal, itu
direncanakan sebagai sebuah eksposisi dan penjelasan tentang tren saat itu di
Eropa – yang mempercepat perlombaan senjata, Entente "pengepungan" di
Jerman, sebuah suksesi krisis internasional, meningkatkan polaritas dari
bangsa-bangsa – danmana mereka memimpin. Namun pada akhir 1911 ia tiba-tiba
tersentak oleh gagasan bahwa peristiwa hari hanya dapat ditafsirkan dalam
"global" dan "total-budaya" istilah. Dia melihat Eropa
sebagai berbaris pergi untuk bunuh diri, langkah pertama menuju kematian
terakhir budaya Eropa di dunia dan dalam sejarah.
Perang
Besar 1914-1918 hanya membenarkan dalam pikirannya keabsahan tesis yang sudah
dikembangkan. Pekerjaan yang direncanakannya terus meningkat dalam lingkup yang
jauh melampaui batas aslinya. Pada tahun 1922 Spengler mengeluarkan edisi
revisi jilid pertama yang berisi koreksi kecil dan revisi, dan tahun setelah
melihat penampilan jilid kedua, dia kemudian puas dengan pekerjaan, dan semua
tulisan-tulisan dan pernyataan-pernyataan. Dengan memnanfaatkan pendekatan
physiogmatic, Spengler yakin akan kemampuannya untuk memecahkan teka-teki
sejarah.
Oswald
Spengler berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran,
pertumbuhan dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu
tahun.Karya Oswald Spengler yang berpengaruh adalah Der Untergang des
Abendlandes (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia Barat atau Eropa.
Spengler meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan itu didasarkan atas keyakinan
bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam. Dalil Spengler ialah bahwa
kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan,
hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang
dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum. Fatum adalah hukum alam
yang menjadi dasar segala hukum cosmos, setiap kejadian, setiap peristiwa akan
terjadi lagi, terulang lagi.
Pemikiran sejarah visioner dari
filusuf sejarah Oswald Spengler (1880-1836) tertuang dalam karya monumental
yaitu Decline of the West (keruntuhan dunia Barat). Karya yang diterbitkan pada
1918.
Dalam karyanya, Spengler meyakini
adanya kesamaan dasar dalam sejarah kebudayaan besar dunia, sehingga
memungkinkan ia dapat memprediksi secara umum tentang jalannya sejarah masa
depan (the course of future history). Predeksi Spengler terutama menyatakan
bahwa kebudayaan Barat telah menemui ajalnya (doom), setelah ia melihat awal
dan berakhirnya kebudayaan Barat (the beginning of the end). Spengler
meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan itu didasarkan atas keyakinan bahwa gerak
sejarah ditentukan oleh hukum alam.
Ia percaya bahwa setiap
kebudayaan berlangsung melalui sebuah siklus mirip dengan siklus kehidupan
organisme. Kebudayaan dilahirkan, tumbuh kuat (grow strong), melemah (weaken),
dan akhirnya mati (die).
Oswald Spengler berpandangan bahwa setiap peradaban besar
mengalami proses kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan. Proses perputaran itu
memakan waktu sekitar seribu tahun.
Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam
segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta.
Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai
wujud dari fatum. Fatum adalah hukum alam yang menjadi dasar segala hukum
cosmos, setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi.
Hukum
itu tampak pada siklus:
1. Musim
semi Masa pemuda Masa pertumbuhan Pagi Pertumbuhan
2. Musim
panas Masa dewasa Masa berkembang Siang Perkambangam
3. Musim
rontok Masa puncak Masa berbuah Sore Kejayaan
4. Musim
dingin Masa tua Masa rontok Malam Keruntuhan
Tiap-tiap masa pasti datang menurut waktunya, itulah keharusan
alam yang mesti terjadi. Seperti halnya historical materialism, paham Spengler
tentang kebudayaan pasti runtuh apabila sudah melewati puncak kebesarannya.
Oleh sebab itu keruntuhan suatu kebudayaan dapat diramalkan terlebih dahulu
menurut perhitungan. Suatu kebudayaan mendekati keruntuhan apabila kultur sudah
menjadi Civilization (kebudayaan yang sudah tidak dapat tumbuh lagi). Apabila
kultur sudah kehilangan jiwanya, maka daya cipta dan gerak sejarah akan membeku
2.3.1.3
Pitirim
A. Sorokin
Pitirim A. Sorokin adalah
ilmuwan Rusia yang mengungsi ke Amerika Serikat sejak Revolusi Komunis 1917. Ia
lahir di Rusia pada tahun 1889 dan memperoleh pendidikan di Universitas St
Petersburg. Kemudian Sorokin mengajar disana yang kemudian Ia mendirikan
Departemen Sosiologi.
Karir Sorokin terganggu
karena adanya Revolusi Komunis, hal ini dikarenakan ia sebagai pejuang anti
komunisme. Ia sempat ditahan dan dijatuhi hukuman mati, yang kemudian hukuman
tersebut di ganti dengan hukuman pembuangan ke Cekoslovakia. Setelah beberapa
tahun Ia hidup dipengasingan, pada tahun 1924, ia kemudian pergi ke Amerika
Serikat. Di Amerika Serikat, Sorokin bergabung dengan Universitas Harvard dan
kemudian mendirikan Center for Creative Altruism.
Ia
yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan
mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang
final. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekedar pelipat gandaan saja; sebaliknya
ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya
yang luas dinyatakan
Setiap
tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang kembali berulang
(artinya, pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada beberapa daripadanya yang
unik. Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan budaya jangka panjang yang
bersifat “berulang-berubah”. Penekanan Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar
dimaksudkan untuk menolak gagasan bahwa perubahan sejarah dapat dilihat sebagai
suatu proses linear yang meliputi gerak dalam satu arah saja; dalam hal ini
Sorokin berbeda dari Comte yang percaya akan kemajuan yang mantap dalam
perkembangan intelektual manusia.
Menurut
Pitirim A. Sorokin (1889–1968) semua peradaban besar berada dalam siklus tiga
sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini
adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.
1) Kebudayaan
ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan
terhadap kekuatan supranatural.
2) Kebudayaan
idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati
(supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam
menciptakan masyarakat ideal.
3) Kebudayaan
sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan
dan tujuan hidup.
2.3.2
TEORI
STRUKTURAL FUNGSIONAL
2.3.2.1
David Émile Durkheim
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia
keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi).
Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu
perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis
(Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga
pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi
ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia
menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan
ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita
tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi
sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di
Paris.
Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam
perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis
oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya
ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang
pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu
Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun
1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di
Universitas Perancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak
satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama
Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama
Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang
terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata
kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu
menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat
Perancis.
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan
pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis dan
tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku
metodologi utamanya, The
Rules of Sociological Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun
1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri.
Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun
1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal,
Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The
Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912.
Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik
konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif
pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan
oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang
kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh
banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).
Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu,
terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun
Durkheim tidak mengaitkan pandangan anti-Yahudi ini dengan rasialisme di
kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit
moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd,
1995). Ia berkata :
Bila masyarakat mengalami penderitaan maka perlu menemukan
seorang yang dapat dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang
yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu,
dan orang yang menentang pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk
sebagai kambing hitam yang akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam
penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus
1894. keriangan meluap di jalan raya. Rakyat merayakan kemenangan atas
apa yang telah dianggap sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya
mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan
moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi.
Melalui fakta ini juga segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan
rakyat merasa terhibur (Lukes, 1972:345).
Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari
perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut
Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di
akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat
dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih
khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap
orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa
menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia
mendesak rakyat agar “mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa
yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan
menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347).
Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan
bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif,
meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan
pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme sebagai “seperangkat
hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman” (Lukes, 1972:323). Menurut
Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada pembaharuan moral
masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik
jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat
proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau
tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem
dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah di
tempat prinsip moral itu diterapkan.
Durkheim berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi,
tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar
pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang
didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling jurnal
itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya
mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi
yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi.
Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang
tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi
sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action
(1973) karya Talcott Parsons.
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu
perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat
besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile
Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis
yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat
kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian
yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana
kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang
bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi
merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami
suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain
dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang
parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan
menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap
sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan
teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat
dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai
equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis
menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
Menurut Emile Durkheim Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap
masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang
saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi
agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya
pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan
sosial.
2.3.2.2 Talcoot Parsons
Talcoot Parsons Lahir pada 1902 di Colorado
Spring, Colorado. Parsons memiliki latar belakang religious dan intelektual.
Ayahnya seorang pendeta, professor dan akhirnya menjadi rektor sebuah perguruan
tinggi kecil. Parson mendapat gelar sarjana muda dari Universitas Amherst pada 1924 dan menyiapkan
disertasinya di London School of Economics. Di tahun berikutnya, ia pindah ke
Heidelberg, Jerman. Max Weber lama berkarir di Heidelberg dan meski telah
meninggal 5 tahun sebelum kedatangan Parsons, pengaruh Weber tetap bertahan mantan istrinya terus menyelenggarakan diskusi
ilmiah dirumahnya dan Parsons menghadirinya. Parsons sangat dipengaruhi oleh
karya Weber dan akhirnya menulis disertasinya di Heidelberg, yang sebagian
menjelaskan karya Weber.
Parsons mengajar di Harvard pada 1927 dan meski
berganti jurusan beberapa kali, ia tetap di Harvard hingga akhir hayatnya pada
1979. Kemajuan karirnya tak begitu
cepat. Ia tak mendapatkan jabatan professor hingga 1939. Dua tahun
sebelumnya ia menerbitkan The Structur of
Sosial Action,sebuah buku yang tak hanya memperkenalkan pemiiran sosiolog
utama seperti Weber kepada sejumlah besar sosoilog, tetapi juga meletakkan
landasan bagi teori yang dikembangkan Parsons sendiri.
Sesudah itu, karir akademis Parsons maju pesat.
Dia menjadi ketua jurusan sosiologi di Harvard pada 1944 dan dua tahun kemudian
mendirikan Departemen Hubungan Sosial, yangtak hanya memasukkan sosiolog,
tetapi juga berbagai sarjana Ilmu Sosial Lainya. Tahun 1949, ia terpilih
menjadi Presiden The American
Sosiological Association. Pada 1950-an dan menjelang 1960-an, dengan diterbitkan
buku seperti The Social System(1951), Parson menjadi tokoh dominan dalam
Sosiologi Amerika.
Tetapi, diakhir 1960-an Parsons mendapat
serangan dari sayap radikal sosiologi Amerika yang baru muncul. Parsons dinilai
berpandangan politik politik konservatif
dan teorinya dianggap sangat konservatif dan tidak lebih dari sebuah
skema kategorisasi yang rumit. Tetapi, tahun 1980-an timbul kembali perhatian
terhadap teori Parsons, tak hanya di America Serikat, tetapi di seluruh
dunia(Alexander,1982; 1983; Buxton, 1985; Camic, 1990; Holton dan Turner, 1986;
Sciulli dan Gerstain, 1985). Horto dan Turner mungkin terlalu berlebihan ketika
mengatakan bahwa “ karya Parsons mencerminkan sumbangan yang lebih berpengaruh
terhadap teori sosiologi ketimbang Marx, Weber, Durkheim, atau pengikut mereka masa kini sekalipun” (1986:
13). Pemikiran Parsons tidak hanya memengaruhi pemikir konservatif, tetapi juga
teoritisi neo-Marxiam, terutama Jurgen Habernas.
Setelah kematian
Parsons, sejumlah bekas mahasiswanya, semua sosiolog sangat terkenl,
merenungkan arti penting teorinya maupun pencipta teori itu sendiri. Dalam
renungan mereka, para sosiolog ini mrngemukakan pengertian menarik tentang
Parsons dan karyanya. Beberapa pandangan melintas mengenai Parsons yang
direproduksi di sini bukan dimaksudkan untuk membuat gambaran yang masuk akal,
tetapi dimaksudkan untuk mengemukakan padangan selintas yang provokatif
mengenai Parsons dan karya-karyanya.
Sebagai seorang
sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional dalam
melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya
selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga
dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan
Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme
Talcott Parsons bersifat kompleks.
Teori Fungsionalisme
Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya
kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial dan
berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat
tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons. Tindakan Sosial
dan Orientasi Subjektif Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott
Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu
bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia
itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada
dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati.
Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat)
dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau
kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan
norma.
Prinsip-prinsip
pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan
pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang
unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan
dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan
bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan
mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma.
Menurut Talcoot Parsons suatu fungsi dalah
suatu kegiatan kompleks yang di arahkan kepada pemenuhan suatu
kebutuhan-kebutuhan sistem itu. Menggunakan divinisi tersebut Parsons percya
bahwa ada empat imperatif fungsional yang perlu bagi semua sitem, yang di kenal
dengan AGIL yaitu:
1.
Adaptasi: suatu sistem harus mengatasi kebutuhan mendesak yang bersifat
situasional eksternal. Sistem itu harus beradaptasi dengan lingkungannya dan
mengadaptasikan lingkungannya dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2.
Percepatan tujuan (goal attaiment): suatu sistem harus mendifinisikan
dan mencapai tujuan utamanya.
3.
Integrasi: suatu sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian dari
komponennya. Dia juga harus mengeloloa hubungan di antara tiga imperaftif
fungsional lainnya (A,G,L).
4.
Pemeliharaan pola (latensi): suatu sistem harus menyediakan , memelihara,
dan memperbaharui baik motivasi para individu maupun pola pola budaya yang
menciptakan dan menopang motivasi itu.
Berikut ini adalah gambaran bagaimana Persons
meggunakan AGIL. Organisasi behavioral adalah sisitem tindakan yang menangani
fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dan mentransformasi duania exsternal.
Sistem kepribadian melaksanakan fungsi mencapai tujuan dengan mendifinisikan
tujuan-tujuan sistem dan memobilitasi sumber daya untuk mencapainya. Sistem
sosial menangani integrasi dengan menggendalikan bagian-bagian komponennya.
Terakhir sistem budaya melaksanakan fungsi latensi dengan mnyediankan norma
norma dan nilai nilai bagi pra aktor yang memotifasi mereka untuk bertindak.
Parsons
mempunyai gagasan yang jelas mengenai “level-level” analisis sosial dan juga
antarhubungan-antarhubungan mereka. Level-level itu di satukan dalam dua cara.
Pertama, setiap level yang lebih rendah memberikan kondisi-kondisi, energi yang
diperlukan bagi level-level yang lebih tinggi. Kedua, level-level yang lebih
tinggi mengendalikan level-level yang dibawahnya di dalam hierarki itu.
Dari segi lingkungan sistem tindakan, level
paling rendah, lingkungan fisik dan organik, meliputi aspek-aspek nonsimbolik
tubuh manusia, anatomi dan fisiologinya.
Inti karya Parsons ditemukan di
dalam empat sistem tindakanya. Parsons menemukan jawabanya bagi masalah
ketertiban di dalam fungsionalisme struktural, yang menurutnya bekerja bersama
sekumpulan asumsi berikut ini :
1. System-sistem
mempunyai khasiat ketertiban dan kesalingtergantungan bagian-bagianya.
2. Sistem-sistem
cenderung menuju ketertiban, atau keseimbangan yang terpelihara sendiri.
3. Sistem-sistem
mungkin statik atau telibat dalam suatu proses perubahan yang teratur.
4. Sifat
dasar satu bagian dari sistem mempunyai dampak pada bentuk yang dapat diambil
bagian-bagian lain.
5. Sistem-sistem
memelihara batas-batas dengan lingkungan-lingkungannya.
6. Alokasi
dan integrasi adalah dua proses fundamental yang diperlukan untuk tercapanya
keadaan seimbang tertentu suatu sistem.
7. Sistem-sistem
cenderung menuju pemeliharaan sendiri yang melibatkan pemeliharaan perbatasan
dan hubungan bagian-bagian dengan keseluruhan, pengendalian variasi-variasi
lingkungan, dan pengendalian terhadap tendensi-tendensi pengubahan sistem dari
dalam.
Bagi
Parsons, masalah tatanan paling sering berhubungan dengan isu mengapa tindakan
tidak acak atau berpola. Isu keseimbangan adalah pertanyaan yang lebih empiris
bagi Parsons. Namun demikian, Parsons sendiri sering menggabungkan isu-isu
ketertiban dan keseimbangan. Sistem Sosial. Konsep Parsons mengenai sistem
dimulai pada level micro di dalam interaksi antara ego dan alterego,
didefinisikan sebagai bentuk sistem sosial yang paling elementer.
Sistem
Kepribadian. Sistem kepribadian dikenal bukan hanya dari sistem budaya tetapi
juga oleh sistem sosial. Namun, bukan berarti bahwa Parsons tidak memberi
independensi tertentu kepada sistem kepribadian. Organisme Behavioral. Meskipun
dimasukan organisme behavioral sebagai salah satu dari empat sistem tindakan,
sedikit sekali di katakan Parsons tentangnya. Organisme behavioral dimasukan
karena merupakan sumber energi untuk bagian lain sistem itu. Meskipun ia
didasarkan pada susunan genetik, pengaturanya, di pengaruhi oleh pengondisian
dan pembelajaran yang terjadi selama kehidupan individu.
2.3.2.3 Robert King Merton
Robert King Merton ( biasa disingkat dengan Robert K. Merton ) lahir
pada 4 juli 1910 di pemukiman kumuh Philadelphia Selatan. Ayahnya adalah
seorang tukang kayu dan sopir truk. Keluarganya merupan imigran Yahudi. Merton
dibesarkan dalam semangat belajar yangtinggi, semasa kanak – kanak dia sering
ditemukan membaca buku di Carnegie Library.Karena kepandaiannya, Merton
mendapatkan beasiswa di Universitas Temple. Dariuniversitas tersebut, ia
mendapat gelar B.A, dan menjadi tertarik dengan sosiologi, kemudiania mengambil
rangkaian pelajaran sosiologi yang diajarkan oleh George E. Simpson.Dengan
bantuan beasiswa pula Meron mendapat gelar MA dan Ph.D dari UniversitasHarvard.
Merton menjadi murid paling awal dan yang paling berpengaruh. Talcott Parsons
pernah menyatakan hubungan yang sangat penting dengan Robert K. Merton.Selama
di Harvard, Merton diajar oleh para mahaguru, mereka antara lain adalah :
P.ASorokin, yang lebih banyak mendorong Merton ke arah pemikiran social Eropa
dan kepada pemikirannya sendiri. Lalu Talcoltt Parsons, yang cukup muda, sibuk
dengan pemikiranmelalui gagasan – gagasan yang pertama kali mencapai puncaknya
dalam karyanya yang berbobot.
Konsep-konsep
sosiologi seharusnya memiliki batasan yang jelas bilamana mereka harus
berfungsi sebagai bangunan dasar dari proposisi-proposisi yang dapat diuji.
Proposisi-proposisi harus dinyatakan dengan jelas tanpa berwayuh arti. Merton
mencoba membuat batasan beberapa konsp analitis dasar bagi analisa fungsional dan
menjelaskan beberapa ketikpastain arti yang terdapat didalam potsulat-potsulat
kaum fungsional.
Postulat
yang pertama adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai
suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu
tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan
konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas potsulat ini
merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari suatu
masayarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena
kenyataannya dapat terjadi, sesuatu yang fungsional bagi kelompok tertentu,
bersifat disfungsional bagi kelompok lain.
Postulat
yang kedua, yaitu fungsionalisme universal, berkaitan denga postulat yang
pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang sudah baku memeiliki fungsi positif. Terhadap potsulat ini dikatakan bahwa
sebetulnya di samping fungsi postif dari sistem sosial terdapat juga disfungsi.
Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan ke dalam bentuk atau sifat
disfungsi ini. dengan demikian, dalam analisis, keduanya harus dipertimbangkan
menurut criteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional, yang
menimbang fungsi positif relative terhadap fungsi negatif/disfungsi.
Postulat
yang ketiga adalah melengkapi tiga postulat fungsionalisme, yaitu postulat
indispensability. Ia menyatakan bahwa
dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan
kepercayaan memenuhu beberapa fungsi penting,
Marton
mengritik hal yang dianggap tiga dalai dasar analisis fungsional:
1. Kestuan
fungsional masyarakat
Dalail tersebut
menganggap bahwa semua kepercayaan sosial dan budaya dan praktik yang di
setandarkan bermanfaat bagi masyarakat sebagi suatu keseluruhan dan juga sebagi
individu-individu dalam masyarakat. Pandangan itu menyiratkan bahwa berbagai
bagian sistem sosial nantinya akan level integerasi yang tinggi. Akan tetapi
Marto berkukuh kedati hal itu benar dalam masyarakat primitif yang kecil,
generalisasi tidak dapat di perluas kepada masyarakat yang lebih besar atau
lebih kompleks.
2. Fungsionalisme
universal
Di argumenkan bahwa
semua bentuk sosial dan budaya yang di setandarkan memiliki fungdi-fungsi positif. Marton mberargumen
bahwa hal ini bertolak belakang dengan apa yang kita tidak jumpai di dunia nyata. Jelas bahwa tida semua
kebudayaan, ide-ide, kepercayaan dan adat istiadat memiliki dampak positif.
Contohnya nasonalsme fanatik bisa sangat tidak berguna di dunia yang mempunyai
segudang senjata nuklir.
3. Kebutuhan
mutlak
Argumen di sini bahwa
tidak semua aspek masyarakat yang di setandarisasi memiliki mkna positif.
Tetapi juga menggambarkan bagian bagian dari cara kerja yang mutlak ada. Dalil
tersebut menghaslkan ide bahwa semua struktur dan fungsi sevara fungsional
adalah untuk masyarakat
2.3.3
TEORI
KONFLIK
2.3.3.1
Karl
Marx
Karl Marx lahir di
Trier, Prusia, 5 Mei 1818. Ayahnya, seorang pengacara, menafkahi keluarganya
dengan relatif baik, khas kehidupan kelas menengah. Orang tuannya adalah dari
keluarga pendeta Yahudi (rabbi). Tetapi, karena alasan bisnis ayahnya menjadi
penganut Luther ketika Karl Marx masih sangat muda. Tahun 1841 Marx menerima
gelar doktor filsafat di Universitas Berlin, universitas yang sangat
dipengaruhi oleh Hegel, tetapi berpikiran kritis. Gelar doktor Marx didapat
dari kajian filasafat yang membosankan, tetapi kajian itu mendahului berbagai
gagasannya yang muncul kemudian. Setelah tamat ia menjadi penulis untuk sebuah
koran liberal radikal dan dalam tempo 10 bulan ia menjadi editor kepala koran
itu. Tetapi karena pendirian politiknya, koran itu kemudian ditutup oleh
pemerintah. Esai-esai awal yang diterbitkan dalam periode ini mulai
mencerminkan sejumlah pendirian yang membimbing Marx sepanjang hidupnya.
Esai-esai tulisan Marx itu secara bebas ditaburi prinsip-prinsip demokrasi,
kemanusiaan dan idealisme awal. Ia menolak keabstrakan filsafat Hegelian, mimpi
naif komunis utopian dan gagasan aktifis yang mendesakkan apa yang ia anggap
sebagai tindakan politik prematur. Dalam menolak gagasan aktifis ini, Marx
meletakkan landasan bagi gagasan hidupnya sendiri :
“Upaya praktis, bahkan
dengan mengerahkan massa sekalipun, akan dijawab dengan meriam saat upaya itu
dianggap berbahaya. Tetpai, gagasan yang dapat mengalahkan intelektula kita,
merupakan belenggu-belenggu di mana seseorang hanya bisa lepas darinya dengan
mengorbankan nyawanya; gagasan itu sepertinya setan sehingga oraang hanya dapat
mengatasinya dengan menyerah kepadanya”. (Marx, 1842/1977:20)
Marx menikah pada 1843 dan tak lama kemudian ia
terpaksa meniggalkan Jerman untuk mendapatkan suasana yang lebih liberal di
Paris. Di Paris ia terus bergulat dengan gagasan Hegel dan pendukungnya, tetapi
ia juga menghadapi dua kumpulanm gagasan baru – sosialisme Perancis dan ekonomi
politik Inggris. Dengan cara yang unik ia menggabungkan Hegenialisme,
sosialisme dan ekonomi politik yang kemudian menentukan orientasi
intelektualnya. Hal yang sangat penting pulaadalah pertemuannya dengan orang
yang kemudian menjadi teman seumur hidupnya, donatur, dan kolaboratornya –
yakni Fredrich Engels (Cerver, 1983). Engels anak penguasa pabrik tekstil
menjadi orang sosialis yang mengkritik kondisi kehidupan yang dihadapi kelas
buruh. Banyak di antara rasa kasihan
Marx terhadap kesengsaraan kelas buruh
berasal dari paparannya kepada Engels dan gagasannya sendiri. Tahun 1844 Marx
dan Engles mengadakan diskusi panjang di sebuah cafe terkenal di Paris dan
meletakkan landasan kerja untuk bersahabat seumur hidup. Mengenai diskusi itu
Engels berkata, “Kesepakatan lengkap kami dalam semua bidang teori menjadi
nyata.. dan perjanjian kerja sama kami mulai sejak itu” (McLellan, 1993:131).
Di tahun berikutnya Engels menerbitkan karya The Condotion of The Working Class in England. Selama periode itu
Marx menerbitkan sejumlah karya yang sukar dipahami (kebanyakan belum
diterbitkan semasa hidupnya) termasuk The
Holly Family dan The GermanIdeology (ditulis
bersama Engels) an ia pun menulis The
economic and Philosophic Manuscripts of 1844 yang menandakan perhatiaanya
bidang ekonomi makin meningkat.
Meski Marx dan
Engels memiliki orientasi teoritis yang sama, namun ada juga perbedaan di
antara mereka. Marx cenderung menjadi seorang intelektual teoritis yang kurang
teratur dan sangat berorientasi kepada keluarganya. Engels adalah pemikir
praktis, rapi dan pengusaha teratur dan orang yang tak percaya pada lembaga
keluarga. Meski mereka berbeda, Marx dan Engels menempa kerja sama yang akrab
sehingga mereka berkolaborasi dalam menulis buku dan artikel dan bekerja sama
dalam organisasi radikal, dan bahkan Engels membantu membiayai Marx selama sisa
hidupnya sehingga memungkinkan Marx mencurahkan perhatian pada kegiatan
intelektual dan politiknya.
Meski ada
asosiasi erat antara nama Marx dan Engels,
namun Engels menjelaskan bahwa ia adalah teman junior. Banyak yang percaya
bahwa Engels gagal memahami berbagai seluk beluk karya Marx. Setelah Marx
meninggal, Engels menjadi juru bicara utama teori Marxian dan dalam berbagai
cara penyimpangan dan terlalu menyederhanakannya, meski ia tetap setia terhadap
perspektif politik yang ia tempa bersama Marx.
Karena beberapa
tulisannya telah mengganggu pemerintahan Prusia, pemerintah Perancis (atas
permohonan Prusia) mengusir Marx tahun 1845 dan karenanya Marx pindah ke
Brussel. Radikalismenya meningkat dan ia menjadi anggota aktif gerakan
revolusioner internasional. Ia pun bergabung dengan Liga Komunis dan bersama
Engels diminta menulisn anggaran dasar liga itu. Hasilnya adalah Manifesto Komunis 1848, sebuah karya
besar yang ditandai oleh slogan-slogan politik yang termasyhur (misalnya,”Kaum
buruh seluruh dunia, bersatulah!”).
Tahun 1849 ia
pindah ke London dan, mengingat kegagalan revolusi politik tahun 1848, ia mulai
menarik diri dari aktifitas revolusioner dan beralih ke kegiatan riset yang
lebih rinci tentang peran sistem kapitalis. Studi ini akhirnya menghasilkan
tiga jilid buku das kapital. Jilid
pertama diterbitkan tahun 1867; kedua jilid lainnya diterbitkan sesudah ia
meninggal. Selama riset dan menulis itu ia dalam kemiskinan, membiayai hidupnya
secara sederhana dari honorarium tulisannya dan bantuan dana dari Engels. Tahun
1864 Marx terlibat kembali dalam kegiatan politik, bergabung dengan “The
Internasional”, sebuah gerakan buruh internasional. Ia segera menonjol dalam
gerakan itu dan mencurahkan perhatian selama beberapa tahun untuk gerakan itu.
Ia mulai mendapat popularitas, baik sebagai pemimpin Internasional maupun
sebagai penulis das Kapital.
Perpecahan gerakan Internasional tahun 1876, kegagalan berbagai gerakan
revolusioner dan penyakit-penyakit, akhirnya membuat Marx ambruk. Istrinya
wafat tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882, dan Marx sendiri wafat di tahun
1883.
Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang
terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan”
pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran
Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi
karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni
menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam
mewujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’
dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim
filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma
kehidupan.
Dan dapat diartikan sebagai teori yang menggunakan metode
reflektif dengan melakukan kritik secara terus-menerus terhadap tatanan atau
institusi sosial, politik atau ekonomiyang ada. Teori kritis menolak
skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan
demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan
interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan
keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap
memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori
kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris
tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks
kekinian.
Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk
dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan
metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan
atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak
kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Ciri khas Teori Kritis tidak lain ialah bahwa teori ini
tidak sama dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Singkatnya,
pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada
titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai
teori yang menjadi emansipatoris. Selain itu, tidak hanya mau menjelaskan,
mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa
teori tersebut mau mengubah.
Pada dasarnya, esensi Teori Kritis adalah
konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik
sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara
alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik.
`Marxisme dianggap sebagai dasar pemikiran dari semua
teori-teori yang ada dalam tradisi kritis. Marxiesme berasal dari pemikiran
Karl Marx, seorang ahli filsafat, sosiologi dan ekonomi dan Friedrich Engels,
sahabatna. Marxisme beranggapan bahwa sarana produksi dalam masyarakat bersifat
terbatas. Ekonomi adalah basis seuruh kehidupan sosial. Saat ini, kehidupan
sosial dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau sistem ekonomi yang ada saat ini
adalah sistem ekonomi kapitalis.
Dalam masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi
kapitalis, profit merupakan faktor yang mendorong proses produksi, dan menekan
buruh atau kelas pekerja. Hanya dengan perlawanan terhadap kelas dominan
(pemilik kapital) dan menguasai alat-alat produksi, kaum pekerja dapat
memperoleh kebebasan. Teori Marxist klasik ini dinamakan ’The Critique of
Political Economy’ (kritik terhadap Ekonomi Politik).
Marx ingin membangun suatu filsafat praxis yang
benar-benar dapat menghasilkan kesadran untuk merubah realitas, pada saat Marx
hidup, yakni masyarakat kapitalis berkelas dan bercirikan penghisapan. Teori
Marx meletakkan filsafat dalam konteks yang historis, sosiologis dan ekonomis.
Teori Marx bukan sekedar analisa terhadap masyarakat. Teori Marx tidak bicara
eonomi semata tetapi ”usahanya untuk membuka pembebasan manusia dari penindasan
kekuatan-kekutan ekonomis”.
Menurut Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengutamakan
profit, masing-masing kapitalis beruang mati-matian untuk mengeruk untuk
sebanyak mungkin. Jalan paling langsung untuk mencapai sasaran itu adalah
dengan penghisapan kerja kaum pekerja. Namun kaum pekerja lama-lama memiliki
kesadaran kelas dan melawan kaum kapitalis.
Yang akan terjadi menurut ramalan Marx adalah penghisapan
ekonomi dengan cara penciptaan kebutuhan-kebutuhan artifisial (palsu) lewat
kepandaian teknologi kaum kapitalis. Oleh karena itu kaum kapitalis monopolis
ditandai dengan kemajuan teknologi yang luar biasa. Dengan difasilitasi
teknologi, tidak lagi terjadi penghisapan pekerja oleh majikan di sebuah
perusahaan, tetapi penghisapan ekonomi ”si miskin” oleh ”si kaya” di luar jam
kerja, di luar institusi ekonomi. Kapitalisme dapat menimbun untung karena
nilai yang diberikan oleh tenaga kerja secara gratis, di luar waktu yang
sebenarnya diperlukan untuk memproduksi suatu pekerjaan, Inilah salah satu
kritik ekonomi politik kapitalisme Marx.
Berikut
ini adalah beberapa teori konflik :
Teori Hubungan
Masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori
ini adalah:
1.
Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara
kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
2.
Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa
saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
3.
Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak
selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami
konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
1.
Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk
memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan
mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka
daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
2.
Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang
menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
3.
Teori
Kebutuhan Manusia
4. Berasumsi
bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia –
fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan,
identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti
pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
1. Membantu
pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan
bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
2. Agar
pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi
kebutuhan dasar semua pihak.
Teori Identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa
lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
1.
Melalui fasilitas lokakarya dan dialog
antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat
mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan
masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
2.
Meraih kesepakatan bersama yang
mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
Teori
Kesalahpahaman Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam
cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah:
1. Menambah
pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain.
2. Mengurangi
stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.
3. Meningkatkan
keefektifan komunikasi antarbudaya.
4. Teori Transformasi Konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial,
budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
1. Mengubah
berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.
2. Meningkatkan
jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami
konflik.
3. Mengembangkan
berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan ,
perdamaian, pengampunan , rekonsiliasi dan pengakuan.
2.3.3.2
Friedrich
Engels
28 Nopember 1820,
Friedrich Engels, seorang pebisnis di kota paling terindustrialisasi di
Rheinland Prusia saat itu, Barmen, sedang menunggui istrinya melahirkan anak
pertama. Laki-laki itu berharap betul istrinya bakal melahirkan seorang putra.
Bagaimana pun juga, sebagai penerus usaha keluarga yang telah didirikan
kakeknya, Johann Caspar Engels, di paro pertama abad ke-18, Friedrich ingin
bisnisnya ada juga yang melanjutkan. Harapannya terpenuhi. Sesuai adat di
kalangan elite masa itu, anak laki-laki pertama itu diberi nama sesuai dengan
namanya sendiri: Friedrich Engels. Anak itu tumbuh di tengah pesatnya bisnis
keluarga. Sejak 1830-an, ketika si anak baru berusia 10 tahun, usaha
keluarganya melebarkan sayap dengan berkongsi membangun bisnis produksi dan
ekspor-impor tekstil di pusat industri manufaktur dunia, Inggris. Perusahaannya
berkongsi dengan perusahaan Ermen Bersaudara dan didirikanlah Ermen &
Engels di Manchester.
Friedrich mengarahkan
pendidikan putranya supaya kelak mewakili bisnisnya di Inggris. Kebetulan,
kakek dari garis ibunya, Elise, adalah seorang kepala sekolah tatabahasa. Di
sekolah gimnasium, Engels junior belajar bahasa dan sastra Yunani-Romawi serta
sastra Jerman. Engels junior terbilang murid rata-rata. Kecuali dalam hal
bahasa, ia memiliki ketertarikan pada sains, dan pemberontakannya terhadap
budaya borjuis Kristen di kotanya. Bahkan, sebelum menempuh ujian kelulusan,
Engels junior sering menulis kritik terhadap kondisi masyarakat dan moralitas
elitenya dengan nama samaran F. Oswald. Hampir semua bahasa utama Eropa
dikuasainya. Dia juga suka membaca karya-karya pemikiran dan sastrawan
Pencerahan yang dilahapnya habis, meski harus mencuri-curi waktu membacanya.
Ibunyalah yang menyokong kesukaan Engels junior kepada sastra, sains, dan
filsafat. Sang ayah, sebaliknya, melihat adanya gelagat bahaya dari kemampuan
dan ketertarikan akademik putranya. Dia tidak ingin putranya menjadi cerdik
pandai. Sebagai anak laki-laki pertama yang mewarisi namanya sendiri, Friedrich
berkeras putranya harus menjadi penerus bisnis keluarga. Oleh karena itu,
sebelum putranya lulus ujian akhir, pada 1837 dia mengirimnya untuk magang di
perusahaan perdagangan milik sahabatnya, Heinrich Leupold. Di sana Engels
junior membantu juru tulis perusahaan. Kerjanya mencatat jumlah barang yang
keluar-masuk, membaca dan menerjemahkan surat masuk, membalas surat dagang, dan
membikin laporan harian atas semua itu. Surat-surat dagang itu datangnya dari
koloni-koloni Eropa di Benua Amerika dan Hindia Barat. Kebanyakan ditulis dalam
bahasa-bahasa bukan-Jerman. Di sinilah Engels junior memperdalam kemampuan
bahasa asingnya. Kelak kemampuan ini dimanfaatkannya saat menjadi sekretaris
korespondensi Perkumpulan Pekerja Antarbangsa (International Pertama) dan
sekretaris jendral Kongres Sosialis Antarbangsa (International Kedua).
Hasrat pada pemikiran
kontemporer tidak begitu saja runtuh oleh beban kesibukan harian sebagai juru
tulis. Selepas kerja, Engels melanjutkan proses belajarnya. Beruntung ibunya,
Elise van Haar, menyokong dengan sembunyi-sembunyi mengiriminya karya-karya
cerdik pandai Jerman dan Perancis.
Sebagai royalis Prusia,
Friedrich Engels senior berbangga hati mengirimkan putranya turut serta wajib
militer ke Berlin pada awal 1842. Di sana, beberapa hari dalam seminggu, Engels
junior mendapat pendidikan militer calon perwira, khususnya untuk divisi
artileri pertahanan kota. Kelak, pengetahuannya perihal ketentaraan
digunakannya dalam perjuangan bersenjata dalam Revolusi 1848 di Jerman selatan.
Hari-hari cuti dimanfaatkannya untuk mengikuti kuliah-kuliah para profesor
filsafat. Pada malam hari, dia keluyuran mengikuti diskusi-diskusi pemikiran
kontemporer yang diadakan para mahasiswa Universitas Berlin, wabil khusus
murid-murid Hegel. Pada masa itu, boleh dikata, pemikiran Georg Wilhelm
Friedrich Hegel menjadi pemikiran ‘trendi’ di kalangan terpelajar Jerman. Di
tangan tafsir golongan loyalis monarki, pemikiran Hegel menjadi semacam
penyokong sistem monarki konstitusional Prussia beserta Protestanisme sebagai
landasan ideologisnya. Dalam sejarah, para penyokong tafsiran loyalis ini
disebut sebagai Kaum Hegelian Tua atau Hegelian Konservatif. Di sisi lain, ada
sekelompok kecil sarjana yang menafsirkan secara berbeda. Bukannya menyokong,
mereka malah mewacanakan restorasi terhadap monarki dan mendorong pemikiran
Hegel ke arah radikalnya sebagai kritik. Mereka yang demikian kemudian dikenal
sebagai Hegelian Muda. Di sinilah Engels junior mendapat pupuk penyubur untuk
bibit pemberontakan masa mudanya. Engels membaca David Strauss, Ludwig
Feuerbach, dan karya-karya dari khazanah pemikiran materialis Yunani.
Usai
putranya memenuhi kewajiban dalam dinas ketentaraan di Berlin, Friedrich Engels
senior mengirimnya kembali ke Inggris. Ngeri juga rasanya, kalau benar kata
desas-desus, bahwa Engels junior berenang terlampau jauh di kubangan Hegelian
Muda yang kritis itu. Harus sesegera mungkin jiwanya dimurnikan kembali oleh
kesucian dunia bisnis. Namun terlambat, Engels junior semakin dalam
pergulatannya di dunia kaum radikal. Pada akhir tahun 1842, ketika dalam
perjalanan ke Inggris, dia berkenalan dengan Moses Hess, seorang ideolog
komunis terpandang kala itu. Di kantor koran Rheinische Zeitung di Köln, dia
juga diperkenalkan kepada Karl Marx, seorang doktor filsafat yang baru lulus
dan ditolak menjadi dosen di Berlin dan pemimpin redaksi koran tersebut. Dengan
yang terakhir inilah kelak Engels junior menjalin persekutuan abadi.
Alih-alih sepenuhnya
bertekun di dunia bisnis, aktivitas politik Engels junior kian menjadi-jadi. Di
Inggris dia segera menjalin perkawanan dengan orang-orang Chartis, yang
beberapa minggu sebelum kedatangannya, telah memimpin pemogokan umum di
segitiga kota industrial Inggris (Manchester, Lancasshire, dan Chesire).
Setibanya di Manchester, Engels berkenalan dengan Mary Burns, juga seorang
aktivis gerakan buruh, yang memperkenalkannya kepada dunia kelas pekerja.
Engels semakin kritis. Bacaannya atas buku-buku ekonomi kala itu berujung pada
penulisan karya pertamanya, Garis-garis Besar Kritik Ekonomi-Politik, yang
diterbitkan dalam edisi pertama sekaligus terakhir Deutsch-Französische
Jahrbücher, jurnal serikat buruh emigran Jerman di Perancis, pada 1843. Marx,
yang baru mengenalnya sepintas beberapa bulan sebelumnya, membaca tulisan ini
dan mungkin memutuskan inilah orang yang layak dijadikan kawan seperjuangan.
Konon, karena tulisan ini pulalah, Marx banting setir dari studi filsafat ke kritik
ekonomi-politik. Di tahun itu juga, Marx keluar dari Rheinische Zeitung setelah
korannya disensor pemerintah karena artikel-artikelnya yang kritis. Dia pergi
ke Paris cari kerjaan. Kebetulan, Engels juga sedang ada perjalanan ke sana.
Keduanya berjumpa untuk kedua kalinya dan dimulailah kerjasama sepanjang hayat
yang kelak menggetarkan dunia. Produk pertama kerjasama ini adalah Keluarga
Suci, kumpulan risalah polemik yang ditujukan kepada bekas kawan-kawan Hegelian
mereka di Berlin. Buku ini menjadi semacam air baptisan yang mengikat keduanya
sebagai saudara sepanjang hayat.
Dari Paris, Engels
kembali ke Inggris. Di tempat kongsi Ermen & Engels berkantor, selepas
bertugas, Engels junior makin sering keluyuran ke permukiman kaum buruh
ditemani Mary Burns. Bedeng-bedeng kumuh kaum pekerja yang tumbuh merambat di
tepian dunia megah borjuis, cerita-cerita pilu buruh kanak-kanak yang diupah
tiga butir kentang, tingginya tingkat kematian karena buruknya sanitasi dan
kondisi kerja yang brutal, meyakinkannya bahwa ada yang tidak beres dengan
sistem perekonomian kapitalis dan ideologi ekonomi yang menyokongnya. Tidak
seperti Marx yang terilhami gagasan sosialisme dari dunia filsafatnya yang
canggih, Engels memeluk sosialisme karena berhadapan langsung dengan kenyataan
empiris bagaimana kapitalisme bekerja. Bahkan sejak masa remajanya di
Wupperthal. Perjumpaannya dengan sosialisme ternyata tidak terbatas di
kantong-kantong permukiman kelas pekerja yang berhadapan dengan kapitalisme.
Terbitan resmi, laporan inspektorat kesehatan, dan catatan-catatan lapangan
kehidupan kaum pekerja dibacanya dengan seksama sepanjang 1842-1844. Hasil
penyelidikannya ini ditawarkan untuk diterbitkan sebagai sebuah buku. Pada
Agustus 1844, sambil menunggu kepastian penerbitan bukunya itu, Engels
meninggalkan Manchester. Pada Februari 1845, Menteri Dalam Negeri Perancis
mengusir Marx. Marx dan keluarganya hijrah ke Brussels, ibukota Kerajaan
Belgia. Di sini, Marx menyusun sebelas tesis legendarisnya perihal filsafat
materialisme Feuerbach. Pada April tahun itu juga, Engels tiba di Brussels dan
bertemu Marx. Keduanya bekerjasama lagi menyusun risalah kritik atas filsafat
Hegelian dan juga kritik atas karya-karya ekonomi-politik Inggris. Dari akhir
tahun itu hingga awal 1846, mereka menyusun risalah yang kemudian terkenal
sebagai Ideologi Jerman. Di dalam risalah yang tidak pernah terbit semasa hidup
keduanya, Marx dan Engels menyemai benih konsepsi materialis mereka atas
sejarah, yang kelak oleh Engels dinamai Materialisme Historis. Pada tahun itu
juga, karya etnografi Engels perihal kondisi kelas pekerja Inggris terbit di
Leipzig dalam Bahasa Jerman.
Marx dan Engels bukan
pemikir belakang meja yang angkuh terhadap realitas. Keduanya pertama-tama
adalah seorang revolusioner. Yang selalu menjadi tujuan mereka adalah bagaimana
menyatukan pemahaman teori dengan pengalaman praktek untuk mengubah dunia. Itu
sebabnya, tak heran jika keduanya menjadi anggota Liga Keadilan, sejenis
serikat buruh berideologi komunis yang kemudian ganti nama menjadi Liga
Komunis. Liga ini merupakan cikal-bakal Partai Komunis Jerman dan mereka berdua
turut aktif di dalamnya sejak awal. Suasana revolusioner Eropa yang memanas
pada 1847, mendorong Engels menyiapkan kisi-kisi program politik dan ekonomi
untuk Liga Komunis kelak apabila revolusi meletus. Risalah itu diberi judul
Prinsip-prinsip Komunisme. Dengan bekal tulisan pendek karangan Engels ini,
lantas Marx dan Engels menyusun Manifesto Kubu Komunis atas permintaan Liga
Komunis yang kemudian menerbitkannya pada Pebruari 1848.
Ketika revolusi meledak
di Jerman, aparat polisi rahasia melakukan penangkapan-penangkapan kepada
anggota Liga. Engels menghindar ke Paris. Pada akhir 1848, dia pergi ke Jerman
dengan tergesa-gesa. Awan revolusi mengambang di selatan. Di sana, suasana
revolusi menguat. Milisi-milisi proletariat dibentuk. Sebagai veteran dinas
artileri Berlin, Engels diangkat sebagai letnan dalam perjuangan bersenjata
kelas pekerja. Naas, pasukan pekerja kalah dalam perjuangan itu. Tentara
Prussia mengejar sisa-sisa pasukan Engels. Engels sendiri menghindari
penangkapan dengan lari ke Jenewa Swiss. Dari sana, Engels menyelinap ke
Perancis. Untuk menghindari patroli, Engels berjalan kaki melalui perdesaan
Perancis hingga ke kota pelabuhan terdekat. Setidaknya, sebulan Engels
melakukan perjalanan itu. Pada akhir tahun 1849, Engels berhasil kembali ke
Inggris dan bertemu lagi dengan Marx di London. Di tengah kekecewaan akan
gagalnya perjuangan bersenjata di Jerman, ditambah dengan kebutuhan finansial
mendesak, Engels menerima tawaran ayahnya untuk kembali menduduki jabatan di
jajaran manajemen perusahaan Ermen & Engels. Engels kembali ke Manchester
dan menyibukkan diri dengan kerja-kerja manajerial perusahaan. Sejak itu,
hubungannya dengan Marx dijalin melalui surat-menyurat. Konon, sepanjang 20
tahun perkariban, ada 1300 surat lebih yang telah mereka berdua tulis.
Revolusi 1848 yang
gagal membuat perhatian intel-intel Jerman, Inggris, Belgia, dan Inggris kepada
keduanya kian ketat. Ketika curiga intel-intel itu sudah begitu dekat, untuk
melindungi keterangan-keterangan penting, Engels membakar sebagian surat-surat
Marx yang dikirim sebelum 1851. Untuk menghindari penangkapan, mereka juga
sering menggunakan bahasa terselubung di surat-surat mereka. Termasuk alamat
dan nama. Misalnya, semenjak 1852, Marx sering menyurati Engels dengan nama
amplop James Belfield. Surat itupun dikirim tidak ke tempat tinggal Engels,
melainkan rumah kenalannya di permukiman pekerja.
Untuk mengelabui
intel-intel yang terus memburu, sebagai manajer perusahaan besar, di publik
Engels menampilkan diri sebagai pebisnis yang parlente, turut serta sebagai
anggota dan pengurus klub-klub minum dan berkuda golongan elite, dan
mengunjungi konser-konser musik klasik layaknya borjuis terhormat. Tapi di
bawah tanah, dia menjalin terus hubungannya dengan buruh-buruh Irlandia dan
pekerja-pekerja imigran Jerman di Inggris. Hubungannya dengan Marx dan
rekan-rekan veteran Liga Komunis juga terus berlangsung, termasuk dengan mereka
yang hijrah ke Amerika. Perhatian Engels terhadap politik Eropa juga tetap
kuat. Sementara Marx menulis risalahPerjuangan Kelas di Perancis dan kasus
khusus Brumaire ke-18 Louis Bonaparte yang mengulas Revolusi 1848-1852, Engels
memfokuskan diri pada analisis atas revolusi 1848 yang gagal di Jerman. Pada
1850, Engels juga menulis ulasan sejarah Perang Tani di Jerman. Dalam tulisan
ini, Engels menyelidiki peperangan kelas dalam konflik berjubah agama di Jerman
abad ke-16. Meski lebih kelihatan sebagai analisis historis seorang sarjana,
sejatinya melalui tulisan ini Engels melakukan otokritik terhadap perjuangan
bersenjata kelas pekerja kontemporer yang gagal sehingga dapat didulang hikmah
darinya.
Pada 1853, Peter Ermen,
bos perusahaan Ermen yang juga direktur utama Ermen & Engels di Manchester,
pensiun. Kepemilikan bisnis jatuh ke putra tertuanya, Godfrey Ermen. Keadaan
ini sekaligus juga mengubah perjanjian kongsi antara keluarga Ermen dan
keluarga Engels. Di bawah kontrak baru yang berlaku untuk sembilan tahun mulai
Juni 1855, Engels junior tidak hanya menjadi manajer, tetapi juga mendapatkan
porsi dividen dari saham perusahaan yang dipegangnya sebagai pribadi. Seiring
dengan peningkatan bisnis perusahaannya, dari tahun ke tahun pendapatan tahunan
Engels juga meningkat. Dari 263 pound per tahun pada 1855, pendapatannya naik
menjadi 1095 pound per tahun pada 1859. Dari limpahan pendapatan inilah Engels
bisa membantu keuangan keluarga karibnya, Marx, di London.
Dari 1852 hingga 1857,
Marx menjadi koresponden Eropa untuk koran New York Tribune. Tugasnya adalah
membuat ulasan atas kejadian-kejadian di Eropa, termasuk kebijakan
negeri-negeri Eropa di wilayah koloni. Pada masa ini beban Marx cukup berat.
Kemiskinan keluarganya membuat anak-anaknya sakit. Upahnya sebagai kolumnis
tidak seberapa. Sementara itu, gerakan kelas pekerja Eropa yang mencoba berdiri
lagi kekurangan kaki untuk berjalan dan Marx termasuk orang bergiat
membangunkannya kembali. Engels membantu sohibnya itu sebisanya. Salah satunya
dengan menulis ulasan untuk kolom Marx dengan menggunakan nama Marx sendiri
supaya Marx tetap dapat kiriman upah menulis dari koran itu. Esai-esai Engels
perihal Revolusi 1848 di Jerman yang kirim dengan nama Marx, ditulis Engels
sepenuhnya. Tentu dengan persetujuan yang punya nama. Kelak kumpulan esainya dibukukan
dan diberi judul Revolusi dan Kontra-Revolusi di Jerman.
Marx melepas kerjaan
menulis kolom di New York Tribune di akhir 1857. Sepanjang 1857-1863, Marx
menenggelamkan diri kembali ke dalam penyelidikan sejarah dan ekonomi.
Ambisinya menyusun risalah ekonomi yang komplit ditujukan sebagai bekal
memberikan gerakan kelas pekerja pemahaman perihal kapitalisme. Engels jelas
menyokong upaya ini. Salah satunya dengan mengirimi Marx uang secara rutin.
Sokongan dana dari Engels ini dianggap mencukupi hidup keluarganya. Maka siang
malam Marx bergulat dengan ratusan karya yang ada di Museum London.
Catatan-catatan Marx sepanjang tahun ini terpilah dua. Satu bagian berisi
sketsa-sketsa metodologis dan landasan-landasan konseptual ihwal kapital dan
uang. Bagian ini kelak dikenal sebagai Grundrisse. Bagian lain berisi ulasan
kritisnya terhadap teori-teori ekonomi yang berkembang hingga masanya. Bagian
ini kelak dikenal sebagai Teori Nilai Lebih yang penerbitannya disunting oleh
salah seorang murid sekaligus dedengkot Partai Sosial Demokrasi Jerman, Karl
Kautsky. Kedua bagian ini memang tidak ditulis untuk diterbitkan. Hanya sebagai
bahan belajar dan kisi-kisi risalah sebenarnya. Oleh karena itu, jauh setelah
wafatnya Marx tulisan-tulisan ini baru diterbitkan.
Pada 1859, Marx
akhirnya menerbitkan esai panjang yang merupakan hasil susunan penyelidikan
pertamanya perihal kapital. Buku itu diberi judul Sumbangsih bagi Kritik atas
Ekonomi-Politik. Ketimbang isinya, bagian paling masyur dari buku ini adalah
Pengantar-nya. Di sana Marx menggariskan teori materialisme historisnya secara
lebih tegas. Setahun berikutnya, Friedrich Engels senior meninggal dunia. Ada
perasaan lega pada Engels junior. Selama ini, terjunnya Engels di dunia bisnis
manufaktur sekadar menyenangkan Engels tua. Kini setelah beliau tidak ada lagi,
ada pikiran untuk segera meninggalkan dunia bisnis yang membuatnya harus hidup
di dua dunia. Di samping itu, Geofrey Ermen, pewaris bisnis keluarga Ermen
tampaknya ingin sekali menyingkirkan Engels junior dan melihat ada kesempatan
untuk mewujudkannya saat Engels senior mangkat. Pada 1864, gonjang-ganjing
perusahaan menambah ketidakbetahan Engels bertahan di Ermen & Engels.
Kebetulan, Perkumpulan Pekerja Antarbangsa (Internasionale Pertama) sedang dibentuk.
Engels bersama-sama Marx aktif di dalam perkumpulan ini hingga dibubarkannya
pada 1876.
Sementara itu, di dunia
kelas pekerja, banyak orang menunggu-nunggu risalah ekonomi lengkapnya Marx.
Engels ketiban pertanyaan kapan Marx mau menerbitkannya. Permohonan seringkali
ditujukan ke Marx melalui telinga Engels. Karena makin lama makin sering,
terpaksalah Engels memohon-mohon juga kepada rekannya itu. Ketika
desakan-desakan dari berbagai pihak di tubuh gerakan kelas pekerja Eropa
semakin kuat supaya Marx segera menerbitkan karya ekonomi yang akan menjelaskan
hakikat dan sepak terjang kapitalisme, Engels akhirnya bisa membujuk Marx
menerbitkan satu jilid dahulu karya yang rencananya terdiri dari enam jilid
itu. Maka pada tahun 1867, dengan pertolongan Engels dalam menyunting,
terbitlah mahakarya pertama Marx, Das Kapital.
Dua tahun setelah Das
Kapital terbit, Engels memberitahukan Marx ihwal keinginan yang dipendamnya
sejak 1860, yakni pensiun dan menjual sahamnya di kongsi Ermen & Engels.
Pertengahan 1869, Engels resmi keluar dari perusahaan itu. Dari penjualan
sahamnya, Engels mendapatkan banyak uang. Tahun berikutnya Engels pindah ke
London, tinggal tidak begitu jauh dari Marx.
Tidak seberapa lama,
gonjang-ganjing revolusi Perancis kembali menyeruak. Krisis kapitalisme melanda
dunia. Kelas pekerja Perancis menduduki dan membentuk pemerintahan berdasarkan
gagasan-gagasan komunisme, atau dikenal kemudian sebagai Komune Paris beberapa
bulan di tahun 1870. Marx mengulasnya dalam esai Perang Saudara di Perancis yang
terbit setahun kemudian.
Setelah Komune Paris
ditumpas kekuatan gabungan aristokrasi dan borjuasi, harapan revolusi Engels
dan Marx dialihkan kepada kelas pekerja Jerman. Namun, alih-alih revolusioner,
Partai Sosial Demokrasi Jerman tampak menunjukkan gelagat menjadi reformis.
Pada 1869, Partai Pekerja Sosial Demokrat didirikan di Eisenach. Secara
ideologis, partai ini mendasarkan diri pada teori sosialisme revolusioner
dengan prinsip-prinsip organisasi Marxis. Pada paro pertama 1870-an,
keanggotaan partai bertumbuh pesat. Saat itu, partai digabung dengan Serikat
Pekerja Umum Jerman pimpinan Ferdinand Lassalle dan membentuk badan baru yakni
Partai Sosial Demokrasi Jerman. Dalam kongres partai di Gotha, ideologi
Lassallean cenderung mendominasi. Setidaknya ada kompromi yang mencondongkan
orientasi partai ke arah reformisme. Marx mengritik program partai hasil
kongres tersebut. Pada tingkat teori, reformisme diwakili oleh pemikiran Eugen
Dühring, seorang dosen Universitas Berlin yang menjadi panutan intelektual bagi
banyak pimpinan partai. Kepopuleran Dühring dan tendensi ekletisisme serta
idealisme terselubungnya, ditanggapi Engels dengan menulis kritik panjang yang
ditulisnya dari 1876 hingga 1878. Tulisan tersebut diberi judul Revolusi Sains
Tuan Eugen Dühring. Kemampuan Engels membongkar pondasi filsafati dari
klaim-klaim keilmiahan teori Dühring sudah diasah beberapa tahun sebelumnya.
Sejak 1873 hingga awal 1876, Engels bergiat mempelajari temuan-temuan ilmiah
dari hampir semua cabang ilmu alam yang berkembang ketika itu. Catatan belajar
Engels sepanjang tahun itu baru kemudian diterbitkan pada 1925 dengan judul
Dialektika Alam. Di kemudian hari, kedua karya ini dianggap sebagai tonggak
penting filsafat alam Marxis atau penjabaran materialisme dialektika dalam
pengkajian alam. Di dalam Dialektika Alam, dimuat juga satu esai belum rampung
yang ditulis Engels berkenaan dengan evolusi manusia berjudul Peran Kerja dalam
Peralihan dari Kera ke Manusia. Pada tahun 1896, esai ini pernah dimuat di
koran partai, Die Neue Zeit.
Sepanjang 1877 hingga
1882, Marx mencoba kembali membereskan jilid-jilid berikutnya dari Das Kapital.
Dasar watak Marx yang tega berhenti menulis untuk sekadar mempelajari bahasa
Rusia supaya dapat membaca karya-karya ihwal sejarah bentuk-bentuk komune
pertanian di sana dalam bahasa aslinya, pengerjaan jilid-jilid Das Kapital
terus-menerus terbengkalai. Jeda-jeda penulisan terus memanjang karena Marx
sibuk mempelajari sejarah kolonialisme Eropa. Bukan hanya koloninya, tetapi
juga masyarakat prakapitalis yang wilayahnya dikoloni. Marx membaca etnografi
dan karya-karya tentang masyarakat Arab, Berber, Persia, Jawa, Bali, India,
Inca, Indian Amerika, budak-budak negro Amerika, dan sebagainya. Ditambah oleh
sakit yang diderita yang memaksa Marx berkunjung ke wilayah tropis di Afrika
utara, lengkaplah sudah ketidakmungkinan jilid-jilid Das Kapital itu rampung.
Buntu sudahlah harapan Engels bahwa Marx bakal merampungkan karya besarnya.
Pada 1880, Engels membantu Marx menyusun 100 daftar pertanyaan untuk kajian
atas kondisi kelas pekerja Perancis. Kuisioner Marx ini kemudian dikenal
sebagai ‘Enquête Ouvrière.’ Di tahun yang sama, Engels menulis dan menerbitkan
Sosialisme: utopia dan ilmiah. Isinya menegaskan batas-batas mana sosialisme
yang didasarkan pada kehendak dan angan-angan semata serta mana yang didasarkan
pada ketentuan penyelidikan ilmiah.
Sepanjang 1881-1882,
Marx tenggelam lagi di lautan antropologi. Karya-karya kontemporer antropologi
kala itu diulasnya. Catatan-catatan ini kelak dimanfaatkan Marx sebagai sumber
pengetahuannya dalam memahami bagaimana peri kehidupan prakapitalis dalam
konteks memahami masyarakat manusia pada umumnya. Catatan-catatan belajar ini
kelak dibukukan oleh antropolog kelahiran Karibia, Lawrence Krader, yang
menyematkan judul The Ethnological Notebooks of Karl Marx (1972,
Catatan-catatan Etnologisnya Karl Marx) pada kumpulan catatan itu. Para
penyunting MEGA (Marx-Engels-Gesamtausgabe) generasi baru mengetahui bahwa apa
yang dikumpulkan Krader hanya seperempat dari catatan dan coretan Marx perihal
antropologi. Bisa dibayangkan kini betapa banyak waktu yang telah dihabiskan
Marx hanya untuk membaca dan betapa sedikit waktunya untuk menulis kelanjutan
jilid-jilidDas Kapital. Semua orang menjadi putus asa. Begitu pula Engels, yang
menutupi kejengkelannya dengan keluhan-keluhan memohon supaya Marx berhenti
membaca dan mulai menulis sisa-sisa bagian Das Kapital.
Saat
di Manchester antara bulan Oktober dan November 1843, Engels menulis karya
ekonomi pertamanya, yang berjudul "Garis Besar dari Kritik Politik
Ekonomi." Engels mengirim artikel
ke Paris, di mana Marx diterbitkan dalam Deutsch-Französische Jahrbücherpada
tahun 1844.
Sambil
mengamati kumuh Manchester di dekat detail, Engels mencatat kengerian nya,
terutama pekerja anak , lingkungan despoiled, dan buruh terlalu banyak pekerja
dan miskin. Dia mengirim trilogi artikel Marx; ini diterbitkan dalam Rheinische
Zeitung dan kemudian diDeutsch-Französische Jahrbücher , mencatat kondisi di
kalangan kelas pekerja di Manchester. Dia kemudian mengumpulkan artikel ini
untuk berpengaruh lebih dulu bukunya, The Kondisi Kelas Pekerja di Inggris
(1845). Ditulis antara September 1844
dan Maret 1845, buku ini diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1845. Dalam
buku itu, Engels menggambarkan "Masa depan suram kapitalisme dan era
industri", mencatat rincian kemelaratan di mana orang yang bekerja hidup.
Buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1887.
Engels
melanjutkan keterlibatannya dengan jurnalisme radikal dan politik. Dia sering
dikunjungi daerah populer di kalangan anggota English tenaga kerja dan Chartist
gerakan, yang dijumpainya. Ia juga menulis untuk beberapa jurnal, termasuk The
Northern Star , Robert Owen 's New Moral Dunia, dan Ulasan Demokrat koran.
Saat
di Manchester antara bulan Oktober dan November 1843, Engels menulis karya
ekonomi pertamanya, yang berjudul "Garis Besar dari Kritik Politik
Ekonomi." Engels mengirim artikel
ke Paris, di mana Marx diterbitkan dalam Deutsch-Französische Jahrbücherpada
tahun 1844.
Sambil
mengamati kumuh Manchester di dekat detail, Engels mencatat kengerian nya,
terutama pekerja anak , lingkungan despoiled, dan buruh terlalu banyak pekerja
dan miskin. Dia mengirim trilogi artikel Marx; ini diterbitkan dalam Rheinische
Zeitung dan kemudian diDeutsch-Französische Jahrbücher , mencatat kondisi di
kalangan kelas pekerja di Manchester. Dia kemudian mengumpulkan artikel ini
untuk berpengaruh lebih dulu bukunya, The Kondisi Kelas Pekerja di Inggris
(1845). Ditulis antara September 1844
dan Maret 1845, buku ini diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1845. Dalam
buku itu, Engels menggambarkan "Masa depan suram kapitalisme dan era
industri", mencatat rincian kemelaratan di mana orang yang bekerja hidup.
Buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1887.
Engels
melanjutkan keterlibatannya dengan jurnalisme radikal dan politik. Dia sering
dikunjungi daerah populer di kalangan anggota English tenaga kerja dan Chartist
gerakan, yang dijumpainya. Ia juga menulis untuk beberapa jurnal, termasuk The
Northern Star , Robert Owen 's New Moral Dunia, dan Ulasan Demokrat koran.
2.3.3.3
Ralf
Dahrendolf
Ralf Dahrendorf Lahir di Hamburg
Jerman, pada tanggal 1 Mei 1929, Ralf Dahrendorf dibesarkan di Berlin. Ayahnya
adalah politisi Demokrat Sosial, Gustav Dahrendorf. Seperti ayahnya, Ralf
Dahrendorf adalah penentang aktif rezim Nazi dan meskipun masih anak sekolah,
dia ditangkap dan ditahan di sebuah kamp di Frankfurt-an-der-Oder selama tahun
terakhir Perang Dunia II. Dahrendorf kemudian berkomentar bahwa ia telah
mengalami perasaan pembebasan dua kali dalam hidupnya: sekali ketika Tentara
Merah membebaskan Berlin dan lagi ketika ia dan ayahnya diselundupkan keluar
dari kota itu oleh Inggris.
Setelah perang mulai Dahrendorf terkenal sebagai seorang
filsuf dan sosiolog. Dia membaca klasik dan filsafat di Universitas Hamburg,
memperoleh gelar doktor pada tahun 1952, sebelum melakukan studi pascasarjana
di bidang sosiologi di London School of Economics antara 1952 dan 1954,
memperoleh gelar doktor kedua pada tahun 1956. Kembali ke Jerman, ia menjadi
Profesor Sosiologi di Universitas Hamburg pada tahun 1958, dan kursi kemudian
diadakan di Universitas Tbingen (1960-1965) dan di University of Konstanz
(1966-1969), yang telah Wakil Ketua pendiri Komite (1964-1966).
Karir politik Dahrendorf dimulai di Jerman pada tahun 1968,
ketika ia terpilih sebagai anggota Demokrat Bebas dari Baden-Wrttemberg Landtag
(gedung parlemen negara bagian). Tahun selanjutnya dia dipilih untuk Bundestag,
dan menjadi anggota dari Partai Demokrat Bebas pemerintah Willy Brandt koalisi
Sosial Demokrat sebagai menteri kantor junior asing yang bergerak dalam urusan
Eropa di bawah Menteri Luar Negeri Walter Scheel. Pada tahun 1970, Dahrendorf
meninggalkan politik dalam negeri untuk menjadi anggota dari Komisi Eropa.
Awalnya bertanggung jawab untuk perdagangan luar negeri dan hubungan eksternal,
ia mengambil penelitian, ilmu pengetahuan dan pendidikan portofolio pada tahun
1973.
Setelah periode sebagai Komisaris Eropa, karir Dahrendorf
adalah terutama akademis dan intelektual, dan bergeser dari Jerman ke Inggris.
Dia adalah Direktur London School of Economics antara tahun 1974 dan 1984 (dan
memang menulis sejarah Sekolah untuk menandai seratus di tahun 1995). Setelah
periode singkat di Jerman, ia kembali ke Inggris pada tahun 1987, kali ini
sebagai Warden College St Antonius, Oxford, posisi yang dipegangnya sampai
pensiun pada tahun 1997.
Meskipun komitmen akademis, Dahrendorf sangat aktif dalam
kehidupan publik di Inggris , melayani antara lain pada Komisi Masyarakat
Hansard tentang Reformasi Pemilu (1975-76), Komisi Royal Pelayanan Hukum
(1976-79) dan Komite untuk Meninjau Fungsi Lembaga Keuangan (1977-1980).
Diberikan gelar kebangsawanan pada tahun 1982, Dahrendorf mengambil
kewarganegaraan Inggris pada tahun 1988, dan pada tahun 1993 diciptakan rekan
hidup, gaya Baron Dahrendorf Pasar Clare di Kota Westminster. Meskipun ia
sebelumnya tidak pernah aktif dalam partai politik Inggris baru Lord Dahrendorf
memilih untuk mengambil cambuk Demokrat Liberal di House of Lords.
Setelah anggota DPR, Dahrendorf segera memainkan peran aktif
dalam politik Liberal Inggris. Pada tahun 1995 ia memimpin Komisi Penciptaan
Kekayaan dan Kohesi Sosial, badan independen yang dibentuk oleh pemimpin
Demokrat Liberal Paddy Ashdown (qv). Memang, salah satu hal yang ia berharap
untuk melakukan pensiun dari St Antony adalah untuk menjadi lebih aktif dalam
House of Lords, di mana ia menjadi anggota Komite Pilih pada Kekuasaan
didelegasikan dan Deregulasi dan di tahun yang sama terkooptasi ke Select
Committee on Masyarakat Eropa, Sub-Komisi A (bidang ekonomi dan keuangan,
perdagangan dan hubungan eksternal), serta menjadi anggota dari Grup London
All-Party.Dahrendorf berhasil Baroness Seear (qv) sebagai Presiden Summer
School Liberal dan peserta aktif dalam, Sekolah tahun 1998 pertama di bawah
kepresidenannya. Ia menjadi Pelindung Liberal International (World Union
Liberal) pada tahun 1987. Di samping direktur sekian banyak lainnya dan
kegiatan amal – ia adalah Trustee dari Yayasan Bantuan Amal – pada tahun 1997
ia menjadi Direktur Bank Gesellschaft Berlin (Inggris) plc, sementara minatnya
dalam hal Eropa berlimpah ditunjukkan oleh tempatnya di Dewan Pengawas Central
European University di Budapest.
Sebuah Fellow dari Akademi Inggris, Fellow Kehormatan dari
LSE, Anggota Luar Negeri (Amerika) National Academy of Sciences, American
Philosophical Society, Royal Irlandia Academy, Akademi Rusia ilmu, dan Polandia
Academy of Sciences, Dahrendorf juga punya tahun 1998 dianugerahi dua puluh
lima gelar doktor kehormatan dan telah dihiasi oleh tujuh negara, termasuk
Grosses Bundesverdienstkreuz mit Stern und Schulterband Republik Federal Jerman
pada tahun 1974. Dari tulisan-tulisan banyak nya, banyak diterjemahkan ke dalam
beberapa bahasa, mungkin yang paling abadi adalah volume sosiologinya, Kelas
dan Konflik Kelas , diterbitkan pada tahun 1959 (yang asli diterbitkan pada
tahun 1957).
Dahrendorf memiliki tiga anak perempuan dari istri
pertamanya. Istri keduanya, Ellen, yang dinikahinya pada tahun 1980, adalah
seorang sarjana sejarah Rusia.
Teori konflik Ralf Dahrendorf sering
kali disebut teori konflik dialektik. Bagi Dahrendorf masyarakat memiliki dua
wajah yakni konflik dan konsensus. Kita tidak akan mengalami konflik kalau
sebelumnya tidak ada konsensus. Misalnya, si A dan si B dalam kelas tidak akan
terlibat alam konflik karena mereka tidak pernah mengenal satu sama yang lain
dan hidup bersama. Demikian sebaliknya konflik bisa menghantar orang terhadap
konsensus. Kerjasama yang sangat erat antara jepan dan amerika pada saat ini
terjadi sesudah mereka terlibat dalam konflik yang sangat hebatpada waktu
perang dunia dua.
Meskipun ada hubungan yang sangat erat antara keduanya
Dahrendorf tidak optimis bisa membangun satu teori tunggal yang bisa mencakupi
konflik dan konsensus karena itu dia berusaha membangu suatu teori konflik yang
kritis tentang masyarakat. Dia berkata bahwa didalam funsionalisme struktural
dibutuhka keseimbangan atau kestabilan bisa bertahan karena kerjasama yang suka
rela atau karena konsensus yang bersifat umum. Sedangkan dalam teori-teori
konflik keseimbangan atau kestabilan terjadi karena paksaan, hal itu berarti
bhwa dalam masyarakat ada beberapa posisi yang mendapat kekuasaan dan otoritas
untuk menguasai orang lain sehingga kestabilan bisa tercapai.
Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat
setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada
dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi
bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat
berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan,
sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban
dalam masyarakat.
Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada
tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor
yang menentukan konflik sosial sistematis. Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial
Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi yang ada dalam masyarakat memiliki
otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda. Otoritas tidak
terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat
statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam
lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada
lingkungan lainnya. Sehingga seseorang yang berada dalam posisi subordinat
dalam kelompok tertentu, mungkin saja menempati posisi superordinat pada
kelompok yang lain.
Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa
(orang yang berkuasa) dan orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan
bawahan. Kelompok dibedakan atas tiga tipe antara lain :
1. Kelompok Semu (quasi group).
2. Kelompok Kepentingan (manifes).
3. Kelompok Konflik
Kelompok
semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi belum
menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok
kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan
kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan
terdapat dalam dua perkumpulan yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan
kelompok yang dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan
berbeda. Bahkan, menurut Ralf, mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama.
Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap
mempertahankan status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau
bawahan ingin supaya ada perubahan. Konflik ini pasti selalau ada dalam setiap
kehidupan bersama atau perkumpulan atau negara walaupun mungkin secara
tersembunyi, ini berarti bahwa legitimasi itu tidak bersifat tetap.
2.3.4
TEORI
KRITIS
2.3.4.1 Jurgen Habermas
Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni
1929 di Dusseldorf Jerman. Pengalaman pahitnya sewaktu remaja yang ditandai
dengan dua peristiwa besar Perang Dunia II dan hidup di bawah tekanan rezim
nasional-sosialis Adolf Hitler, mengantarkannya untuk mengintrodusisasi
pentingnya demokrasi dalam pemikiran politiknya (Santoso, 2003: 219).
Awal pendidikannya dimulai dengan
mempelajari filsafat di Universitas Gottingen dan Bonn dan mulai bergabung ke
dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah
Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia
berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor
Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for Social Research)
antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil
menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und
die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi
buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan
Sejarah dalam pemikiran Schelling (Santoso, 2003: 219).
Habermas melibatkan diri dalam
kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitationsschrift yang
berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan dalam Struktur
Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara
karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu
dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan
kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri
tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan
kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat (Santoso, 2003:
220).
Satu
hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya
di kalangan mahasiswa Frankfrut, seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas
melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left),
meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia
terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer
Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Habermas
mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan
tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse, namun sejak tahun 1970-an,
hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai
melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti
para pendahulunya. Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan
itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “Revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan
yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif (Santoso, 2003: 221).
Konfontrasi itu agaknya membuka
tahapan baru dalam posisi Habermas sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970
ia mengajukan pengunduran diri dari Frankfrut dan bergabung pada Institut lain,
yaitu Max Planck Institute zur Erfoschung der Lebensbedingungen
Wissenshaftlich-technischen Welt (Institut Max Planck untuk Penelitian
Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama dengan
C.F.Von Weizsacker, bahkan Habermas pada tahun 1972 sempat menjabat sebagai
direkturnya dan diangkat sebagai profesor filsafat dan pensiun tahun 1994. Ia
juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar teori kritisnya yang
berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahu-pendahulunya, seperti Adorno,
Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna dengan pemikir Marxis pada
umumnya (Santoso, 2003: 221).
Menurut Habermas, Teori
Kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah’ sebagaimana dikenal secara luas di kenal
di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas melukiskan Teori
Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis
antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah
dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta obyektif seperti
dianut teori-teori positivis. Teori Kritis hendak menembus realitas sebagai
fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental
yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa
Teori Kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan
oleh pengalaman kontekstual. Degan demikian Teori Kritis tidak hendak jatuh
pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan dialektika antara
pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris.
2.3.4.2
Herbert
Marcuse
Herbert Marcuse
lahir di Berlin,
Jerman,
19 Juli
1898 – meninggal
di Starnberg,
29 Juli
1979
pada umur 81 tahu. Ia adalah seorang filsuf
Jerman-Yahudi,
teoretikus politik
dan sosiolog, dan anggota Frankfurt
School. Dikenal sebagai "Bapak gerakan
Kiri Baru", karya terbaik yang dikenal adalah Eros
and Civilization, One-Dimensional
Man, dan The
Aesthetic Dimension. Marcuse adalah
intelektual yang memberi pengaruh besar pada gerakan Kiri
Baru dan gerakan mahasiswa pada tahun 1960-an.
Herbert Marcuse lahir di Berlin dari pasangan Carl Marcuse
dan Gerturd Kreslawsky dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Yahudi. Pada 1916 ia menjalani wajib militer
bersama Angkatan Bersenjata Jerman,
namun hanya bekerja di kandang kuda di Berlin selama Perang Dunia I. Ia
kemudian menjadi anggota Dewan Prajurit yang berpartisipasi dalam menggagalkan
pemberontakan sosialis
Spartakis. Ia
menyelesaikan tesis Ph.D-nya di Universitas
Freiburg pada 1922 di Künstlerroman
Jerman setelah ia kembali ke Berlin, di mana ia bekerja di penerbitan. Pada
1924 ia menikahi Sophie Wertheim, seorang matematikawan. Ia kembali
ke Freiburg pada 1928 untuk
meneliti bersama Edmund
Husserl dan menulis Habilitation
dengan Martin
Heidegger, yang kemudian diterbitkan pada 1932 dengan judul Hegel's
Ontology and Theory of Historicity. Penelitian ini ditulis dengan konteks
renaisans Hegel yang terjadi di
Eropa dengan penekanan pada ontologi
hidup dan sejarahnya Hegel, teori idealis roh dan dialektika. Dengan karier yang terhambat oleh
bangkitnya Third
Reich, pada 1933 Marcuse bergabung dengan Frankfurt Institute for Social
Research.
Pada 1933, Marcuse mempublikasikan ulasan utama pertamanya
dari tulisan Marx yang berjudul Economic and Philosophical Manuscripts of
1844. Pada ulasan ini Marcuse merevisi interpretasi atas Marxisme, dari sudut
pandang karya awal Marx.
Ulasan ini membantu dunia memandang Marcuse sebagai seseorang yang mulai
menjadi teoretikus paling menjanjikan pada generasinya.
Ketika menjadi anggota Institute of Societal Research,
Marcuse mengembangkan sebuah model teori sosial kritis, membuat sebuah teori
tahap baru negara dan monopoli kapitalisme, menjelaskan relasi antara filsafat,
teori sosial, dan kritisisme kultural, dan menyediakan analisis dan kritik atas
fasisme Jerman. Marcuse
bekerja begitu dekat dengan teoretikus kritis ketika berada di Institut.
Setelah beremigrasi dari Jerman pada 1933, tahun 1934 Marcuse
bermimigrasi ke Amerika
Serikat, di mana ia menjadi warganegara pada 1940. Meskipun ia tak
pernah kembali ke Jerman untuk menetap, ia tetap menjadi teoretikus utama yang
diasosiasikan dengan Mazhab Frakfurt, bersama dengan Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno (di
antara yang lainnya). Pada 1940 ia mempublikasikan Reason and Revolution,
sebuah karya dialektik yang meneliti Georg W. F. Hegel dan Karl Marx.
Selama Perang
Dunia II Marcuse pertama-tama bekerja untuk U.S. Office of War Information
(OWI) mengenai proyek anti-Nazi propaganda. Pada 1943 ia ditransfer ke Office
of Strategic Services (OSS), lembaga pelopor Central
Intelligence Agency. Pekerjaannya untuk OSS melibatkan penelitian
mengenai Nazi Jerman dan
denazifikasi. Setelah pembubaran OSS pada 1945, Marcuse dipekerjakan oleh
Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat sebagai kepala seksi Eropa Tengah, dan
pensiun setelah kematian istri pertamanya di 1951.
Pada tahun 1952 ia memulai karier pengajar sebagai teoretikus
politik, pertama di Columbia
University, lalu di Harvard
University, kemudian di Brandeis University dari tahun 1958 hingga
1965, di mana ia mengajar filsafat dan politik, dan akhirnya (saat itu ia telah
melampaui usia pensiun yang seharusnya), mengajar di University
of California, di San Diego.
Marcuse adalah teman dan kolaborator sosiolog politik Barrington Moore, Jr. juga filsuf politik Robert Paul Wolff, dan juga teman dari
profesor sosiologi Columbia University C.
Wright Mills, salah satu pencetus gerakan New Left.
Pada periode pasca perang, Marcuse adalah salah satu yang
secara eksplisit paling politis dan kiri di antara anggota Mazhab Frankfurt yang
lain, terus menerus mengidentifikasi dirinya sebagai Marxis, sosialis, dan seorang Hegelian.
Kritik Marcuse atas masyarakat kapitalis (khususnya
sintesisnya terhadap Marx
dan Freud pada 1955, Eros and Civilization,
dan bukunya pada 1964 One-Dimensional Man) beresonansi dengan
kepentingan gerakan mahasiswa pada 1960-an. Karena kesediaannya untuk berbicara
pada protes mahasiswa, Marcuse segera dikenal sebagai "bapak dari Kiri
Baru di Amerika Serikat", sebuah istilah yang sangat tidak ia sukai dan
ingkari. Karya-karyanya sangat memengaruhi diskursus intelektual pada budaya popular dan kajian
akademik budaya popular. Ia mendapat banyak permintaan ceramah di AS dan Eropa di akhir
1960-an dan 1970-an. Ia menjadi teman dekat dan inspirator dari filsuf Perancis
André
Gorz.
Marcuse mengkritik penahanan pemberontak Jerman Timur Rudolf
Bahro (pengarang Die Alternative: Zur Kritik des real
existierenden Sozialismus [terj., The Alternative in Eastern Europe]),
dengan mendiskusikan teori Bahro tentang "perubahan dari dalam" pada
esainya pada tahun 1979.
Banyak sarjana radikal dan aktivis yang terpengaruh oleh
Marcuse, seperti Angela
Davis, Abbie
Hoffman, Rudi
Dutschke, dan Robert
M. Young. Di antara mereka yang mengkritik Marcuse dari sayap kiri
adalah Marxis-humanis
Raya Dunayevskaya, dan emigran Jerman Paul Mattick, keduanya
mengetengahkan One-Dimensional Man pada kritik Marxis. Esai tahun
1965-nya yang berjudul Repressive Tolerance, di mana ia mengklaim
demokrasi kapitalis dapat mengandung aspek totalitarian, dikritik
kaum konservatif. Marcuse
berargumen bahwa toleransi orisinil tidak mentolerir dukungan bagi penindasan,
karena dengan melakukannya suara kaum marginal tetap tidak akan terdengar. Dia
mengkarakteristikkan toleransi bagi pidato represif sebagai "tidak
orisinil". Sebaliknya, Marcuse mendukung toleransi berbentuk diskriminatif
yang tidak membolehkan suatu intoleransi "represif" untuk disuarakan.
Marcuse kemudian mengekspresikan gagasan radikalnya melalui tiga buah
tulisannya. Ia menulis An Essay on Liberation pada 1969 untuk merayakan
gerakan pembebasan seperti yang terjadi di Vietkong, yang
menginspirasi banyak kaum radikal. Ia juga menulis Counterrevolution by
Revolt pada 1972 tentang harapan generasi 60-an yang sedang menghadapi kontra revolusi.
Setelah Brandeis menolak perpanjangan kontrak mengajarnya di
1965, Marcuse mendedikasikan sisa waktunya mempublikasikan artikel dan memberi
kuliah dan saran pada kaum radikal di berbagai belahan dunia. Usahanya menarik
perhatian media, menyorot ceramah-ceramah dan karyanya yang mempunyai pengaruh.
Ia melanjutkan mempromosikan Teori
Marxian dan sosialisme
libertarian sementara murid-muridnya membantu dengan menyebarkan
gagasan-gagasannya. Ia mempublikasikan karya terakhirnya The Aesthetic Dimension
pada 1979 yang berbicara tentang emansipasi dan perlunya sebuah revolusi
budaya.
Marcuse menikah tiga kali. Istri pertamanya seorang matematikawan Sophie
Wertman (1901-1951), yang darinya ia mendapatkan seorang anak
lelaki, Peter (lahir 1928). Pernikahan kedua Herbert adalah pada Inge Neumann
(1913?-1972), janda dari teman dekatnya Franz
Neumann (1900-1954). Istri ketiganya adalah Erica Sherover (1938-1988),
bekas murid pasca sarjananya dan empat puluh tahun lebih muda, yang ia nikahi
pada 1976. Putranya Peter saat ini adalah profesor emeritus Perencanaan Kota di Columbia
University.
Sepuluh hari setelah ulang tahunnya yang ke-81, Marcuse
meninggal pada 29 Juli 1979, setelah menderita stroke selama kunjungan ke
Jerman. Ia baru selesai memberikan ceramah di Römerberggespräche Frankfurt, dan dalam
perjalanan menuju Max-Plank-Institue for the Scientific-Technical World
di Starnberg, yang diundang
oleh teoretikus generasi kedua Mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas. Pada
2003, setelah abunya diambil dari Amerika Serikat, ia dimakamkan di pemakaman Dorotheenstädtischer di Berlin.
Pandangan Marcuse terhadap kapitalisme
bisa ditelusuri akarnya ke salah satu konsep utama Karl
Marx: Objektifikasi.
Marx percaya bahwa kapitalisme mengeksploitasi manusia; dan apa yang para buruh
lakukan sejatinya adalah proses mendehumanisasi diri mereka menjadi objek
fungsional. Marcuse mengambil pandangan ini dan mengembangkannya. Ia percaya
kapitalisme dan industrialisasi
menekan kaum buruh begitu kuat, hingga kaum buruh mulai melihat diri mereka
sendiri sebagai objek yang mereka produksi. Pada One-Dimensional Man ia
menyatakan, "Rakyat mengenali diri mereka sendiri di dalam
komoditas-komoditas; mereka menemukan jiwa mereka di dalam otomobil
mereka," yang berarti kapitalisme mendegradasi manusia hingga menjadi
komoditas-komoditas yang mereka ciptakan, memberikan komoditas sifat penting
yang lebih dari diri sendiri.
Marcuse
berfokus pada ‘kapitalisme lanjut’ yang menciptakan cara berpikir masyarakat
yang berdimensi tunggal. Menurut Marcuse, nafsu kapitalistik (keuntungan
materi) mencerminkan apa yang disebut Marcuse dengan “penindasan yang
berlebihan”, yang didistribusikan kepada nafsu dari segelintir orang untuk
menguasai distribusi, dengan demikian juga bermaksud untuk menguasai ummat
manusia. Menurut Marcuse “penindasan berlebihan” tersebut seharusnya dapat
dihapuskan dengan cara menghilangkan kelangkaan dan membebaskan manusia dari
cengkraman “prinsip prestasi” yang sampai sejauh ini telah mendominasi
pemikiran manusia. Adalah kapitalisme yang membuat manusia haru bekerja lebih
dari yang diperlukan. Kapitalisme ketakutan akan kesadaran manusia yang
dieksploitasinya. Menurut Marcuse, relevansinya terhadap teori kritis yang
memberikan kesadaran dalam menalar realitas, apabila manusia sadar bahwa untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya manusia cukup henya dengan bekerja selayaknya, maka
ia akan menolak dieksploitasi. Untuk menghindarkan gejala tersebut, kapitalisme
menindas sepenuh kepribadian manusia.
2.3.4.3 Max
Horkheimer
Max Horkheimer lahir 14
Februari 1895 di Zuffenhausen, dekat Stuggart, Jerman. Ayahnya, Moritz (Moses)
Horkheimer mendidik dengan keras dan otoriter. Ayahnya, menuntut Horkheimer
mengelola pabrik tenun milik keluarganya. Sekalipun tertekan, Horkheimer
mengikuti saja yang apa yang dimaui ayahnya itu. jadilah ia direktur muda.
Ada sahabat sejati
Horkheimer yang terus mempengaruhi hingga semakin tidak nyaman Horkheimer
bekerja menuruti kemauan ayahnya itu, yakni Friedrich Pollock. Pollock, 9 tahun
lebih tua dari Horkheimer, anak pengusaha Yahudi, yang terlatih berdagang
sebelum ikut berdagang. Berkat pertemanan ini, Horkheimer menyukai bidang seni,
sesuatu yang merupakan bidang baru baginya. Dari pengaruh Pollock, ia menyukai
filsafat dan masuk ke Frankfurt School.
Persahabatan antara
Pollock dan Horkheimer bisa dikatakan cukup lama. Hubungan sosial ini terbentuk
karena kesesuaian kepribadian antar mereka. Jika Horkheimer sering terbawa mood
dan temperamental, sebaliknya emosi dan kendali diri Pollock lebih stabil dan
sangat obsesif. Pollock pragmatis, realis, penuh kewaspadaan dan sering
mengatur rutinitas sederhana untuk membantu Horkheimer. Nama popularitas
Horkheimer juga karena kepiawaian mengajar.
Ketika Horkheimer
menjadi mahasiswa di Universitas Jerman, Hans Cornelius adalah guru yang sangat
inspiratif, memiliki daya kritis luar biasa. Dari gurunya itu Horkheimer mendapat
tugas menganalisis buku Immanuel Kant yang berjudul Critique of Judgement. Dari
situlah, hubungan Horkheimer dengan Cornelius semakin akrab dan membuat
Horkheimer menaruh perhatian atas teori kritis. Kemudian, pengaruh karya-karya
teoritis yakni pertama, Schopenhauer dan Immanuel Kant. Pollock pernah
memberikan buku karangan Schopenhauer yang berjudul Aphorisms on the Wisdom of
Life. Selain dari gagasan-gagasan Cornelius, pesimisme Horkheimer tentang masa
depan masyarakat yang baik juga didapat dari Schopenhauer ini.
Ketertarikan yang
kedua, ketika Horkheimer tergila-gila dengan pemikiran Kant, Hegel dan Karl
Marx. Bagi Horkheimer, Immanuel Kant adalah filsuf kritis pertama. Sebab, ia
tidak mempersoalkan bagaimana merumuskan dan mensistimatisir isi pengetahuan.
Kant justru menyatakan bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan
keterbatasannya, dan lewat itu akal budi mengetahui sesuatu. Bagi pendukung
teori kritis, bisa disimpulkan bahwa Kant telah menemukan otonomi subyek dalam
membentuk pengetahuannya. Hanya saja, pemikiran Kant tetap dikritik karena
masih a historis (Sindhunata, 1983 : 31).
Dari pemikiran Hegel
yang sangat mengesankan Horkheimer adalah mengetengahkan perjalanan akal budi
untuk mencapai kesadaran diri yang sempurna. Bagi Hegel, kesadaran diri yang
lengkap justru ketika ada tekanan-tekanan yang membuatnya bertarung. Dimana
masing-masing unsur mengandung kebenaran. Dari sinilah Horkheimer tertarik
dengan cara berpikir dialektika tersebut, bahkan dikatakan cara berpikir kritis
adalah cara berpikir yang dialektis.
Kemudian yang tidak
kalah penting pemikiran Karl Marx, terutama ketika mengkritik sistem ekonomi
kapitalis. Dari pandangan sosial dan politik, kapitalis benar-benar merendahkan
derajat manusia. Akibat berkompetisi memenangkan bisnis, para borjuis yang
sekaligus pemilik modal mengeksploitasi para kaum proletar. Hampir sama dengan
Hegel dalam membongkar apa yang menjadi persoalan masyarakat, Karl Marx
memperkenalkan konsep dialektika. Hanya saja dialektika Marx tidak bersifat
idealis, tetapi materialis dengan melakukan kritik-kritik politik dan ekonomi
masyarakat.
Horkheimer memandang
bahwa kritik ekonomi politik Marx sangat penting untuk mengokohkan kedudukan
kritik pada teori kritis. Menariknya, Horkheimer tidak luput merevisi gagasan-gagasan
Karl Marx tersebut, mengingat corak kapitalis ketika Marx mengemukakan teorinya
dengan ketika Horkheimer dan kawan-kawan hidup tidak sama. Kapitalisme Liberal
telah mengalami metamorfosis dan berubah menjadi kapitalisme monopolis. Corak
kapitalisme monopolis sama dengan kapitalisme negara, dimana kekuatan
masyakarat tidak murni digerakkan variabel-variabel ekonomi, tetapi sudah ada
intervensi kekuatan yang lebih besar yakni negara
Selain beberapa pemikir
besar tersebut yang mempengaruhi pandangan dan gagasan Horkheimer. Juga, masih
ada para filsuf yang juga tidak boleh dikesampingkan, yakni : Nietzche, Dilthey
dan Bergson. Pandangan Dilthey yang menyatakan bahwa ilmu sosial lebih
didasarkan pemahaman dan pengalaman ulang disetujui oleh Horkheimer. Dimana
dalam bahasa Horkheimer sebagai kebermaknaan struktur sejarah. Hal yang tidak
disetujui Horkheimer ketika Dilthey menyatakan bahwa makna ini secara intuitif
dapat ditemukan oleh sejarawan yang mengalami ulang masalah yang ditelitinya
dengan pikiran sendiri. Singktanya, Horkheimer tidak setuju dengan metodologi
Dilthey yang memasukkan pendekatan psikologi untuk analisa sejarah.
Frankfurt School atau
Sekolah Frankfurt merupakan aliran atau mazhab yang secara sederhana sering
dipahami sebagai ”aliran kritis”. Teori-teori kritis banyak dikembangkan oleh
akademisi dengan meninggalkan ajaran asli Marxisme, namun perlawanan terhadap
dominasi dan penindasan tetap menjadi ciri khas. Teori-teori kritis ini sering
disebut neo marxist (amarxisme baru) atau marxist (denan m kecil).
Farnkfurt School
berasal dari pemikiran sekelompok ilmuwan German di bidang filsafat, sosiologi
dan ekonomi yang tergabung ”the Institute for Sosial Research” yang didirikan
di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Anggota-anggotanya antara lain : Max
Horkheimer, Theodor Adorno dan Hebert Macuse.
Frankfurt School
diilhami ajaran Karl Marx, namun sekaligus melampui dan meninggalkan ajaran
Marx secara baru dan kreatif. Cara pemikiran Sekolah Frankfurt mereka sebut
sendiri sebagai ”Teori Kritik Masyarakat”. Teori Kritis memandang diri sebagai
pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang emansipatoris. Teori Kritis
tidak hanya menjelaskan tetapi mengubah pemberangusan manusia.
Maksud teori itu adalah
membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. (Sindhunata,
1983 : xiii). Teori Kritik Masyarakat pada hakekatnya mau menjadi ”Aufklarung”.
Aufklarung berarti : mau membuat cerah, mau mengungkap segala tabir yang
menutup tabir, yang menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap kesadaran
kita. Teori Kritik Masyarakat mengungkapkan apa yang dirasakan oleh kelas-kelas
tertindas, sehingga kelas-kelas ini menyadari ketertindasannya dan memberontak.
Dalam Frankfurt School
dikeal nama Jurgen Habermas, murid termasyhur Theodor W. Adorno, yang
membaharui Teori Kritis secara fundamental. Pokok pembaharuannya tersebut
adalah :
1. Bila
ajaran Marx menganggap basik seluruh kehidupan adalah ekonomi dan bekerja
adalah aktivitas pokok manusia, maka menurut Habermas pekerjaan hanya salah
satu tindakan dasar manusia saja.
2. Di
samping pekerjaan masih terdapat tindakan yang sama dasariah, yaitu interaksi
atau komunikasi antarmanusia.
2.3.5
TEORI
FEMINIS
2.3.5.1
Simone De Beauvoir
Simone
De Beauvoir adalah tokoh feminisme modern dan ahli filsafat Perancis yang
terkenal pada awal abad ke-20, dan juga merupakan pengarang novel, esai, dan
drama dalam bidang politik dan ilmu sosial. Ia dikenal karena karyanya dalam
politik, filsafat, eksistensialisme, dan feminisme, terutama karya Le
Deuxième S3x3 yang diterbitkan pada tahun 1949.
Buku tahun 1949 karya eksistensialis Simone de Beauvoir yang berjudul he Second S3x (bahasa Perancis: Le Deuxième S3x3) adalah salah satu karya Beauvoir yang paling terkenal, mengisahkan mengenai perlakuan terhadap wanita sepanjang sejarah dan sering dianggap sebagai karya utama dalam bidang filsafat feminis yang menandai dimulainya feminisme gelombang kedua. Beauvoir meneliti dan menulis buku ini dalam waktu 14 bulan saat ia berusia 38 tahun. Ia menerbitkan buku ini dalam dua volume, dan beberapa bab pertama kali ditampilkan dalam Les Temps modernes. Meski buku ini terkenal, Vatikan menempatkan buku ini di Daftar Buku Terlarang.
Buku tahun 1949 karya eksistensialis Simone de Beauvoir yang berjudul he Second S3x (bahasa Perancis: Le Deuxième S3x3) adalah salah satu karya Beauvoir yang paling terkenal, mengisahkan mengenai perlakuan terhadap wanita sepanjang sejarah dan sering dianggap sebagai karya utama dalam bidang filsafat feminis yang menandai dimulainya feminisme gelombang kedua. Beauvoir meneliti dan menulis buku ini dalam waktu 14 bulan saat ia berusia 38 tahun. Ia menerbitkan buku ini dalam dua volume, dan beberapa bab pertama kali ditampilkan dalam Les Temps modernes. Meski buku ini terkenal, Vatikan menempatkan buku ini di Daftar Buku Terlarang.
Beauvoir
yang lahir di Paris, 9 Januari 1908, memperoleh gelar dalam bidang filsafat
dari universitas Sorbonne di Perancis, di mana ia lulus tahun 1929. Kemudian ia
mengajar di sekolah menengah di Marseille dan Rouen mulai 1931 hingga 1937, dan
di Paris tahun 1938-1943. Setelah Perang Dunia, ia muncul sebagai pejuang
pergerakan eksistensialisme, bersama Jean-Paul Sartre dengan karya Les Temp
Modernes.
Simone de Beauvoir
meninggal di Paris, 14 April 1986 pada umur 78 tahun setelah menderita
pneumonia. Ia dimakamkan di Sartre di Cimitiere du Montparnasse di Paris.
Setelah kematiannya, karyanya meninggalkan pengaruh kuat khususnya dalam
pergerakan feminisme.
Di kalangan para aktivis
gender, Simone de Beauvoir merupakan salah satutokoh yang harus ditelaah.
Karyanya, ‘Le Deuxième Sexe’ (1949) dicatat sebagai karyaklasik yang memberikan
penerangan tentang ketertindasan perempuan selama ini dan telah memberikan
pengaruh yang cukup signifikan dan mendorong inspirasi gerakan-gerakan
pembebasan perempuan. Dan jika dilihat dari sejarah perkembangan feminismeSimone
de Beauvoir dianggap sebagai pelopor teori feminisme yang sudah lebih subtantif
dibandingkan dengan teori-teori yang sebelumnya.
Dalam perkembangan sejarahnya
teori feminisme memiliki banyak jenis aliran, namun Rose Mary Tong, dalam
bukunya Feminist Thought (1989) mengelompokan aliran feminisme menjadi tiga
yakni feminisme liberal,radikal, dan sosialis, namun saat ini muncul pula
aliran baru seperti feminisme post-modern. Teori Simone de Beauvoir sendiri
tergolong ke dalam teori Feminisme Eksistensialis. Teori Feminisme
Eksistensialis sendiri tergolong ke dalam teorifeminisme sosialis. Eksisitensialisme
sendiri merupakan teori yang memandang segala fenomena dengan berpangkal kepada
eksistensi manusia. Maksud dari eksistensi manusia sendiri adalah cara manusia
berada di dunia ini. Martin Heidegger berpendapat bahwa manusia harus eksis
karena ia terlempar begitu saja, bahwa adanya manusia adalah menuju kematian.
Karena cemas dan prihatin, manusia sepanjang hidupnya mencari makna hidup
bersama orang lain. Konsep keprihatinan dan konsep bersama dengan orang lain
inilah yang nantinya akan sering digunakan oleh Simone de Beauvoir dan para
feminis lainnya dalam gerakan feminisme di seluruh dunia. Teori Simone de
Beauvoir sendiri berawal dari terminologi dasar filsafat eksistensialis,
sehingga dalam teori tersebut terdapat banyak sumbangan konsep dari para filsuf
eksistensialis seperti Heidegger dan Sarte. Dalam pemikirannya Simone
deBeauvoir mengambil pengandaian dari Sarte yang terkenal yaikni Le Regard
(sorotanmata).
Selain itu Simone de Beauvoir
juga sependapat pada Sarte bahwa dalam relasi manusia selalu terjadi konflik
intersubjektifitas, dimana masing-masing selalu berusaha menjadikan manusia
yang lain sebagai objek dan tidak ingin dirinya yang menjadi objek. Bagi Simone
de Beauvoir penyebab mengapa kaum wanita tertindas adalahdimana keberadaan kaum
wanita yang keadaannya kurang dihiraukan dan bukan subjek absolut seprti kaum
pria. Sehingga memunculkan pandangan bahwa subjek absoulutadalah kaum pria,
sedangkan kaum wanita hanyalah objek lain (Other). Menurut Simone de Beauvoir
proses tersebut berawal dari fakta biologis seperti peran reproduktif,
ketidakseimbangan hormon, kelemahan organ tubuh wanita, dan sebagainya yang
digabungkan dengan sejarah patriarka hingga akhirnya kaum wanita disudutkan
kepada peran reproduksi dan domestik dan tanpa disadari sebenarnya wanita telah
digiring kepada definisi makhluk yang tidak berkesadaran (être en soi). Hal
inilah yang menjadikan dominasi terhadap kaum wanita sepanjang sejarah.
ia menjelaskan secara jelas
bagaimana sejarah dan keyakinan akan definisi tentang kaum wanita selama ini
dan menurutnya selama ini telah terjadi kecacatan eksistensialis terhadap
situasi kaum wanita. Sejarah telah menunjukan bagaimana kaum pria selalu
menjadi pihak yang menggenggam kekuatan yang konkret dalam berbagai bidang
sehingga dianggap sebagai keinginan kaum pria sendiri untuk mendominasi. Simone
de Beauvoir juga menjelaskan bahwa kenyataannya mayoritas kaum wanita
sebenarnya tidak menginginkan keluar dari dunia tradisional feminitas
sepertimisalnya hal yang berhubungan dengan urusan rumah tangga. Harapan untuk
keluar dari dunia tersebut sebenarnya ada namun tidak sepenuhnya.
Dalam perkembangannya anak
perempuan telah disosialisasikan untuk menerima, menunggu, bahkan bergantung.
Mereka percaya bahwa nantinya akan ada seorang pria yang datang untuk
menyelamatkan hidupnya dan melindunginya untuk selamanya seperti dalam cerita
dongeng maupun mitos masyarakat. Dari hal tersebut Simone de Beauvoir
mengungkapkan bahwa unsur ketergantungan wanita tidak hanya bersumber dari
mitos masyarakat saja, namun terlalu banyak faktor kehidupan di dalam sejarah
yang tidak memungkinkan wanita untuk mandiri.
Selain itu, pemikiran khas
Simone de Beauvoir lainnya adalah ia mengungkapkan bahwa dalam sebuah lembaga
penikahan masih berlaku anggapan bahwa seorang suami adalah pelindung istrinya,
namun kenyataanya dalam kehidupan rumah tangga sendiri masih sering terjadi
kekerasan terhadap istri, sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat gerak-gerik
seorang istri masih terus diawasi hingga sangat mendetail dan masa depan istri
seringkali dimanipulasi sesuai kehendak suami. Menurut Simone de Beauvoir
wanita yang menikah hanyalah sekedar pesakitanyang bisa dipukuli dalam kehidupan
pernikahan. Dalam kehidupan keluarga borjuis, Simone de Beauvoir sependapat
dengan pernyataan Engels yang menyatakan bahwa dalam keluarga borjuis, wanita
diperlakukan seperti private property yakni wanita maudikorbankan demi
kepemilikan pribadi, sehingga menimbulkan pendapat bahwa semakin kaya kondisi
ekonomi seorang suami, semakin tinggi tingkat ketergantungansang istri.
Dalam teorinya Simone de
Beauvoir juga mengkaitkan fakta biologis yang membentuk proses kejiwaan seorang
wanita yang antara lain disebabkan oleh faktor hormon dan peran reproduksinya
yang sangat berpengaruh besar terhadap emosinya sehingga menciptakan banyak
anggapan bahwa wanita memiliki masalah psikologis, meski begitu Simone de
Beauvoir menolak anggapan-anggapan yang mengakibatkan konsep wanita dijadikan
menjadi semacam produk personalitas yang mekanis. Selain itu, Simone de
Beauvoir menganggap bahwa yang menjadi penyebab utama perkembangan-perkembangan
kaum wanita adalah dalam perkembangan hidupnya kaum wanita sejak dini telah disosialisasikan
sedemikian rupa sehingga kehilangan identitas dirinya seperti yang sejak kecil
diberikan boneka dibandingkan dengan mainanmobil-mobilan ataupun mainan yang
lain.
Simone de Beauvoir
berpendapat bahwa dengan melarang kaum wanita bekerjadi luar rumah maka hal ini
juga berarti menghalangi pencarian jati diri dan kebahagiaankaum wanita. Wanita
sebaiknya dibiarkan menghadapi dunia dengan kekuatannyasendiri hingga
lama-kelamaan sifat ketidakmandiriannya hilang secara berangsur-angsur. Simone
de Beauvoir juga berpendapat bahwa upaya menyetarakan kaum wanita dengan kaum
pria tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada dukungan dari masyarakat
sekitar. Selain itu terdapat ungkapan dari Simone de Beauvoir yang sangat
terkenal, cukup kontroversial, dan mengundang banyak reaksi yakni ‘On ne saît
pas femme, on ledevient ’ (Orang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan
menjadi perempuan). Ungkapannya tersebut dianggap sebagai deklarasi kemerdekaan
kaum wanita akandominasi para kaum pria dalam masyrakat terutama dalam bidang
politik dan pemerintahan.
2.3.5.2
Alice S.
Rossi
Alice Emma Schaerr atau Alice
Scaherr Rossi lahir pada tanggal 24 September 1922 di Brooklyn, New York. Rossi
terfokus pada status perempuan di tempat kerja, dalam keluarga, dan kehidupan seksual
mereka. Tulisan-tulisannya membantu membangun fondasi gerakan
feminis. Advokasi awal dia aborsi dan hak-hak reproduksi menyebabkan dia
mendapatkan banyak perhatian nasional. Salah satu kegiatan akademik
utamanya adalah studi tentang lifecourse orang dari pemuda untuk usia, terutama
dalam kasus perempuan.
Menurut Rossi teori perbedaan
gender melihat situasi wanita berbeda dari situasi lelaki, menjelaskan
perbedaan ini dari segi lelaki dan perempuan, atau peran institusional dan
interaksi sosial, dam konstruksi ontologis perempuan sebagai “orang lain”.
Pada tahun 1960-an sangat menentang adanya perbedaan peran
gender, ternyata telah mengubah pandangannya. Sebelumnya, ia berpendapat bahwa
peran stereotip gender wanita bukan karena nature (bersifat alami), melainkan
karena adanya sosialisasi. Pada tahun 1978 ia menulis, “Perbedaan peran gender
bukan karena faktor sosialisasi, melainkan bersumber pada keragaman antarseks,
yang mempunyai tujuan fundamental untuk kelangsungan hidup manusia.”
Rossi dengan teguh berpendapat, “Tidak ada satu masyarakat
pun yang dapat menggantikan figur ibu sebagai figur pengasuh, kecuali
dalam kasus-kasus yang jarang terjadi saat ada wanita tertentu yang terdeviasi
dari kecenderungan sifat normalnya.”
Konsep gender menafikan naluri dan hanya menerima kesamaan
potensi akal dan kebutuhan jasmani. Perbedaan pria dan wanita menurut konsep
gender secara alami hanya terletak pada alat reproduksi semata. Asumsi ini pun
dapat dibantah. Jika konsep gender menerima perbedaan secara fisik pria dan
wanita, mengapa mereka tidak menerima adanya perbedaan sistem hormonal pria dan
wanita yang juga bersifat fisik. Apakah karena perbedaan hormonal berpengaruh
pada kondisi psikis seseorang, yang bagi kalangan feminis, dianggap
sebagai faktor nurture (bentukan alam). Bahwa sistem hormonal berpengaruh pada
kondisi psikis manusia, dan hormon reproduksi pada wanitalah yang mempengaruhi
naluri keibuan, dapat dibuktikan dari tidak adanya satu pun peradaban, budaya
ataupun kultur sejak zaman paleotik sampai abad modern seperti saat ini, yang
tidak memposisikan wanita untuk berperan sebagai ibu.
Dengan
demikian, asumsi konsep gender terbantahkan dalam hal:
(1) kegagalan dalam memahami naluri manusia.
(2) ketidaksesuaian teori nature dan nurture secara de
facto dengan kehidupan masyarakat manapun.
Jelaslah
bahwa KKG adalah ide yang absurd dan masyarakat setara yang hendak diraih
hanya sekadar utopia.
Alice Rossi mengeksploitasi tesis bahwa keadaan biologi
manusia menentukan banyak perbedaan sosial antara laki-laki dan
perempuan.
Dari ketiga teori sosiologi feminis yang dikemukakan, memberikan sebuah
kesimpulan bahwa dalam masalah pengalaman dan kehidupan, laki-laki dan wanita
sama pentingnya. Wanita akan lebih beruntung bila mampu menyeimbangkan antara
karir penunjang ekonominya dengan karir dalam keluarga. Selanjutnya bahwa dari
struktur biologi laki-laki dan wanita jelas berbeda, sehingga hal itulah yang
memicu perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan sosial.
Dunia seolah disulap, wanita-wanita di belahan dunia manapun berlomba-lomba
bekerja menjadi wanita karir, begitu pula halnya di Indonesia. Sangat baik
memang apabila wanita dapat membantu suami dalam ekonomi, hanya saja tetap dari
sisi biologis (kodrat) wanita dan laki-laki berbeda.
Dengan alasan karir, wanita lantas memungkiri kodratnya,
enggan mengandung, enggan melahirkan dan menyusui, pun tidak sudi mengurus anak
dan suami. Segala kehidupan dan tanggung jawabnya dalam rumah tangga
diambil-alih oleh pembantu rumah tangga. Padahal, rumah tangga atau keluarga
merupakan sebuah peradaban kecil dimana ada suami sebagai kepala keluarga
(presiden rumah tangga) dan istri sebagai asisten (menteri), serta anak-anak
sebagai sebuah sistem tatanan masyarakat yang dalam pelaksanaannya harus
berkesinambungan satu dengan yang lainya. Tidak boleh ada miss function, sebab itulah yang akan menimbulkan kekacauan serta
ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga.
Banyak wanita berevolusi menjadi sangat “perkasa” dalam
rumah tangga. Bahkan, kini roda ekonomi, segala permasalahan dan seluruh
keputusan mendapat dominasi wanita. Laki-laki dianggap makhluk yang lemah,
bahkan karena sang istri begitu hebatnya dalam berbisnis dan mampu menganggung
seluruh roda ekonomi keluarga, sementara penghasilan suami jauh di bawah
penghasilannya. Selanjutnya yang terjadi ialah suami diminta untuk keluar dari
pekerjaannya dan harus tinggal di rumah. Membersihkan rumah, mengurus anak,
bahkan hingga memasak membuatkan makanan sambil menunggu istriya pulang
bekerja.
Peran laki-laki dalam rumah tangga, yang semula tugasnya
sebagai kepala keluarga hilang digantikan oleh wanita. Wanita tak lagi
menghormati suaminya sebagai kepala keluarga, pun tak lagi mengabdikan dirinya
pada suami dan keluarga. Sehingga, kini trend
istilah SSTI (Suami-Suami Takut Istri), dimana dalam ungkapan tersebut
sesungguhnya tersembunyi ungkapan lain yang menyertainya yakni ungkapan
“Istri-Istri Durhaka Pada Suami”.
Padahal, Islam telah mengatur segala tatanan kehidupan ini
secara tertib, baik dan begitu tertata rapi. Islam memposisikan wanita di
posisi yang begitu terhormat. Islam pun memandang wanita melalui kesadaran
konsekuensi logis dari special ”kodrat”
yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Wanita dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat
penting, namun tetap sesuai dengan bingkai yang digariskan Islam padanya.
Dengan kata lain, peranan-peranan wanita tidak bertentangan dengan kodratnya.
Dimana, dalam susunan biologis dan nilai-nilai kejiwaan mutlak berbeda dengan
kaum adam sebagaimana yang diungkapkan sosiolog feminis Alice Rossi.
Wanita yang mulia secara hakiki menurut Islam ialah ia yang
mengembangkan potensinya sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Jika tidak, 180o
akan berbalik keadaannya sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya.
Gelora feminisme yang diagung-agungkan Barat dengan ukuran
norma-norma yang mereka ciptakan sendiri, telah menjungkirbalikan ukuran norma
dan nilai-nilai kewanitaan yang sebenarnya menurut Islam. Wanita disejajarkan
dengan laki-laki dalam segala urusan, besar atau kecil.
Masyarakat Barat mengibarkan bendera pembebasan wanita atas
nama gender sebagai racun emansipasi
di tengah kehidupan umat Islam. Persamaan yang diserukan Barat bukanlah sekadar
urusan persamaan, sebab mereka tidak menjadikan agama sebagai rujukan masalah.
Dari seruan-seruan persamaan tersebut telah mengakibatkan kehancuran Islam,
sebab kunci keislaman ada di tangan wanita.
2.3.5.3 Patricia Hill Collins
Patricia
Hill Collins dilahirkan pada 1984. Menurut keterangannya sendiri dia tumbuh di
keluarga pekerja kulit hitam yang suportif dan besar yang berada di lingkungan
kulit hitam Philadelphia; dia pindah dari tempat yang aman ini untuk
melanjutkan pendidikan untuk wanita dan kemudian dia mendapat gelar dari
universitas Brandeis pada 9169, dan gelar M, A, T.di Harvard pada 1970. Selama
1970-an dia bekerja sebagai spesialis kurikulum disekolah-sekolah di Boston,
Pittsburgh, Hartford, New York, dan Washington D.C. dia kembali ke Brandeis
untuk mendapatkan gelar Ph.D. dalam bidang sosilogi, yang di raihnya pada 1984.
dia menghabiskan karirnya di pendidikan tinggi di Universitas Cincinnati
dimana dia memegang dua jabatan, sebagai Charles Phelps Taft Professor of
Sociology dan sebagai Professor of African- American Studies.
Collins menulis bahwa pengalaman keberhasilan pendidikannya
di susupi oleh pengalaman lain sebagai’’ orang’ pertama’ atau’ satu dari
segelintir’ atau’ satu-satunya’ prempuan Afrika-Amerika dan prempuan kelas
pekerja di sekolah saya, komunitas saya tempat kerja saya’(1990;xi). Dalam
stuasi ini dia merasa dirinya di nilai lebih rendah ketimbang orang lain dan
mengetahui bahwa keberhasilan pendidikannya tampaknya memaksa dirinya
menjauhkan diri dari latar belakang kelas pekerja kulit hitamnya. Ini
menciptakan ketegangan yang mengakibatkannya “kehilangan suara”.
Responnya
terhadap ketegangan ini adalah merumuskan alternatif pemahaman tetang teori
sosial dan cara alternatif untuk menyusun teori itu. Proyek ini membuatnya
menemukan suara teoritis dari komunitasnya dan mendapatkan kembali suaranya
sendiri dengan meletakkannya di dalam komunitas itu. Ini berpuncak pada karya
Black Feminist Thought (1990) sebuah teks Landmark dalam teori feminis dan
sosial yang banyak diantologisasikan dan karenanya Collins dianugerahi Jessie
Bernard Award dan C. Wright Mills Award. Black Feminist Thought menyajikan
teori sosial sebagai pemahaman tentang kelompok khusus, perempuan kulit hitam;
untuk tujuan ini Collins mengambil dari berbagai sumber, beberapa diantaranya
terkenal, dan yang lainnya tidak jelas. Yang dia sajikan adalah teori sosial
berbasis komunitas yang mengartikulasikan pemahaman kelompok tersebut mengenai
penindasan oleh interaksi dari ras, jender dan kelas, dan perjuangan
historisnya melawan penindasan. Dalam karya ini, Collins mengungkapkan
epistemologi yang berbeda, yang dengannya perempuan kulit hitam menilai
kebenaran dan validitas; dia juga secara meyakinkan berargumen mendukung
epistemologi pendirian feminis. Black Feminist Thought menunjukkan satu arah
untuk teori sosial feminis pada khususnya dan teori sosial pada umumnya. Dalam
praktik dan teori dia menyusun teori interseksionalitas, membantu
mengorganisasikan seksi ASA, Race, Gender, Class; bersama Margaret Anderson
mengedit koleksi esai, Race, Class and Gender (1992); dan menulis banyak
artikel di berbagai jurnal.
Fighting Words : Black Woman and The Search for justice
(1998) melanjutkan perjuangannya untuk mendefenisikan kembali teori sosial
bukan sebagai wilayah dan praktik dari kelompok elite intelektual, tetapi
sebagai pemahaman tentang dunia sosial yang dicapai kelompok sosial yang berada
di dalam situasi yang berbeda-beda. Dalam proyek ini Collins mengulangi seruan
empatiknya kepada para sosiolog untuk menulis dan bekerja seolah-olah teori
sosial adalah bagian dari upaya kolektif dari kehidupan sosial dan untuk
membuat teori sosial menjadi bermakna dan dapat diakses oleh publiknya.
Film The Help
mengisahkan mengenai kehidupan para
perempuan kulit hitam yang bekerja sebagai pembantu di kediaman majikan kulit putih.
Bertempat di Amerika Serikat pada tahun 1960an ketika itu perjuangan
hak-hak sipil masih bergejolak. Dimana masyarakat kulit hitam mendapat tempat
yang sangat rendah di lingkungan orang-orang kulit putih.
Dalam film
tersebut diceritakan sang tokoh utama (Aibeleen) yang bekerja sebagai pembantu
sekaligus pengasuh anak pada keluarga kulit putih. Aibee tinggal di suatu
lingkungan dimana keseluruhannya merupakan warga kulit htam. Yang semua
perempuan yang tinggal disitu bekerja sebagai pembantu maupun pengasuh anak.
Ironisnya, para perempuan kulit hitam tersebut mendapat perlakuan diskriminatif
dari majikannya. Selain tidak boleh makan di ruang yang sama, mereka juga tidak
diperbolehkan menggunakan fasilitas kamar mandi yang sama.
Disini para
perempuan kulit hitam mendapat opresi dari perempuan kulit putih. Lucunya, para
perempuan kulit putih ini adalah perempuan yang digambarkan sesuai dengan
teori feminis tradisional. Dimana sang
suami-lah yang bekerja sementara mereka menghabiskan waktu di rumah, bukan
untuk mengurus rumah karena mereka memiliki pembantu yakni perempuan kulit
hitam, yakni untuk sekedar berkumpul dan bersosialisasi dengan teman-temannya
dari golongan yang sejenis. Dan teman-temannya sesame perempuan kulit putih
tersebut pun hampir semua memiliki pembantu kulit hitam yang diperlakukan
dengan cara yang sama.
Diasumsikan
dengan pemikiran Patricia Hill Collins mengenai opresi di Amerika Serikat yang
berhubungan dengan dimensi ekonomi, politik, maupun ideologis, film The
Help dapat dikatakan mewakili keseluruhannya.
Para perempuan
kulit hitam dalam film ini termarginalkan dan ditempatkan pada jenis pekerjaan
sector pelayanan yakni sebagai pembantu rumah tangga. Mereka dipekerjakan untuk
memasak, membershkan rumah bahkan mengurus anak majikan kulit putihnya. Para
perempuan kulit hitam itu termarginalkan bahkan oleh perempuan kulit putih,
yang juga berada pada posisi lebih rendah dibanding suami-suami mereka.
Adanya hak-hak
sipil yang berlaku seolah menjadikannya wajar bagi para perempuan kulit putih
untuk memperlakukan pembantu kulit hitamnya dengan tidak adil. Hanya karena
seorang temannya melakukan suatu hal, berarti semua orang dalam kelompoknya
harus melakukan hal yang sama. Bahkan hal tersebut dianggap wajar oleh mereka
karena memang adanya stereotip itulah yang berkembang di amerika pada masa itu.
Ideology akan lebih rendahnya derajat orang-orang kulit hitam (baik laki-laki
terlebih perempuan ) menjadikannya wajar untuk berlaku diskriminatif terhadap
mereka. Bahkan melibatkan aturan spil dan fasilitas public yang ada di
masyarakat. Bus yang seharusnya menjadi angkutan umum pun dispesifikkan, mana
yang boleh mengangkut kulit hitam dan mana yng untuk masyarakat kulit putih.
Dalam film the
help selain memaparkan adanya system opresi terhadap perempuan kulit hitam.
Sekaligus juga menggambarkan keberadaan feminis kulit putih. Betapa pada masa
1960an meskipun para perempuan kulit putih juga berada pada keadaan yang minor
dibandingkan laki-laki atau suami mereka, mereka masih bisa memberlakukan opres
atau penindasan kepada para perempuan kulit hitam. Dalam film ini juga dapat
dijadikan kritik terhadap feminism tradisional atau yang dikenal sebagai
feminis kulit puth. Digambarkan bahwa seberapa teropresinya perempuan kulit
putih oleh suaminya, mereka masih berada pada situasi yang lebih beruntung
dibandng perempuan kulit hitam. Para perempuan kulit putih tersebut memang tdak
bekerja, dengan kata lain mereka tidak ikut serta dalam proses ekonomi dalam
keluarganya karena hanya suami mereka-lah yang bekerja. Akan tetapi mereka juga
tidak serta merta hanya dbungkam di rumah dan tidak melakukan apapun, karena
mereka memiliki pembantu perempuan kulit hitamuntuk mengerjakan pekerjaan
rumahnya, termasuk mengurus anak. Sehingga apa yang perempuan kulit putih ini
lakukan jauh lebih menguntungkan disbanding para perempuan kulit hitam di
sekitarnya. Yang harus bekerja demi menghidupi keluarganya, yang juga tidak
jarang memperoleh opres dari lingkungan bahkan suaminya.
Patricia Hill Collins
berargumentasi bahwa di Amerika Serikat opresi terhadap perempuan kulit hitam
disistermasikan, dan distrukturkan sejalan dengan tiga dimensi yang saling
berhubungan meliputi :
Pertama, dimensi ekonomi dari opresi terhadap
perempuan kulit putih menyingkirkan perempuan kulit hitam ke dalam ”ghetoisasi dalam jenis-jenis
pekerjaan sektor pelayanan”.
Kedua, dimensi politis dari opresi terhadap
perempuan kulit hitam mengabaikan hak dan fasilitas bagi perempuan kulit hitam,
yang secara rutin diberikan kepada kepada semua laki laki kulit putih dan
banyak perempuan kulit putih, termasuk hak yang sangat penting untuk memperoleh
pendidikan yang setara.
Ketiga, dimensi ideologis dari opresi terhadap
perempuan kulit hitam, pemaksaan sekumpulan “citra pengontrol” yang berlaku
bagi dan membatasi kebebasan perempuan kulit hitam. Dimensi ini memjelaskan dan
membenarkan perlakuan laki laki kulit putih dan (dalam tingkat yang lebih
rendah)perempuan kulit putih terhadap perempuan kulit hitam, dimensi ideologis
yang menciptakan pelabelan buruk seperti "mammy",
"matriark", "penerima tunjangan sosial" dan lain sebagainya
yang diawali dari masa perbudakan. Dimensi ideologis inilh dimensi yang paling
kuat dan sulit dihilangkan dibanding dua dimensi lainnya.
Collins berkomentar. “dari
mamies, jezebel, dan mesin penghasil anak dalam masa perbudakan, hingga Aunt
Jemimas yang tersenyum dalam kemasan adonan pancake, pelacur kulit hitam yang
tersebar dimana mana, serta ibu penerima tunjangan sosial yang selalu hadir
dalam kebudayaan populer kotemporer, hubungan dari citra stereotipikal negatif
yang dilekatkan pada perempuan afrika amerika merupakan sesuatu yang
fundamental dalam opresi terhadap perempuan kulit hitam.
Collins berteori bahwa
dimensi ideologis adalah lebih kuat dalam “mempertahankan” opresi terhadap
perempuan kulit hitam dibandingkan dengan dimensi ekonomi ataupun politik. Ia
juga menyatakan bahwa “opresi berdasarkan ras, kelas, dan gender tidak dapat
berlangsung tanpa pembenaran ideologis untuk keberadaannya dan menekankan bahwa
feminis kulit hitam harus berusaha untuk membebaskan perempuan afrika amerika
dari label stereotipe seperti “mammy”, “matriark”, “penerimaan tunjangan
sosial” dan “hot momma”. Hingga kaum kulit hitam dan kaum kulit putih berhenti
berpikir dalam kerangka stereotipe perempuan kulit hitam, perempuan kulit hitam
tidak akan pernah bebas untuk menjadi diri mereka sendiri.
Tidak seperti para feminis
yang berasumsi bahwa pornografi terutama berdampak pada perempuan kulit putih,
Collins beragumentasi bahwa, ”perlakuan terhadap tubuh perempuan kulit hitam
pada abad ke-19 di Eropa dan di Amerika Serikat mungkin merupakan dasar dari
pornografi kontemporer sebagai representasi dari objektivikasi, dominasi, dan
penguasaan atas perempuan”. Sarah Bartmann ialah perempuan yang sering kali
dibawa ke pesta di Paris sebagai sesuatu yang mengundang keingintahuan seksual
walaupun mereka harus membayar untuk itu. Collins menekankan laki-laki kulit
putih (dan juga perempuan kulit putih) membayar untuk melihat sesuatu
pertunjukan pornografis hidup yang dalam hal ini, seksualitas Bartmann
direpresentasi sebagai seksualitas keseluruhan perempuan Afrika (dan juga
laki-laki) : yang dimunculkan sebagai seksualitas yang serupa binatang, yang
seharusnya berbeda dengan seksualitas laki-laki dan perempuan kulit putih. Tak
jarang perempuan kulit hitam memang ditampilkan dalam majalah porno yang
ditujukan pada laki-laki kulit putih berupa binatang seperti kucing atau macan
yang dikurung oleh ”pemburu kulit putih yang hebat”.
2.3.6
TEORI
EVOLUSI SOSIAL
2.3.6.1 Herbert Spencer
Spencer lahir pada 27 April 1820 di kota kecil
Derbyshire, Midland, Inggris. Sebagai anak tunggal seorang guru sekolah. Dia
sebenarnya tidak terlahir tunggal, melainkan sembilan bersaudara. Hanya saja
dia menjadi satu-satunya anak pasangan William dan Haerriet Spencer yang
bertahan hidup. Potret keluarga Spencer yang bergelut melawan penyakit menjadi
semacam mozaik dari kehidupan Inggris zaman Victorian abad ke-19. Ke-8
saudaranya meninggal karena sakit, penyebabnya adalah Inggris yang memasuki
Revolusi Industri terperosok ke dalam problem negara industri yang sangat suram
sekaligus mengkhawatirkan. Kala itu, bangunan pabrik biasanya menyatu dengan
kawasan pemukiman. Bangunannya tua dan tidak terawat, ventilasi minim, kotor,
penuh jelaga hitam, sempit, dan sumpek. Selain mengepung kota dengan asap
hitam, limbah pabrik juga menimbulkan pencemaran, sanitasi yang tidak terawat,
jalanan yang buruk, dan tentu saja polusi.
Karena alasan kesehatan, Spencer kecil menjalani
pendidikan di rumah. Dia tidak belajar seni dan humaniora, melainkan teknik dan
bidang utilitarian (Ritzer dan Goodman, 2007).
Dalam usia relatif muda, 17 tahun tepatnya pada tahun
1837 Spencer muda terjun ke dunia kerja sebagai insinyur sipil di sebuah
perusahaan kereta api London dan Birmingham. Karirnya terbilang bagus hingga
akhirnya dia dipercaya menjadi wakil kepala bagian mesin di perusahaan
tersebut. Pekerjaan ini dijalaninya sampai tahun 1846. Selama periode ini
Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri.
Spencer memiliki kemampuan sangat baik dalam mekanika.
Kemampuan itulah yang memengaruhi imajinasinya dalam ilmu pengetahuan, terutama
tentang biologi, masyarakat, dan ilmu sosial. Pada saat menjadi insinyur inilah
Spencer mulai belajar menulis artikel secara serius. Tulisan pertamanya di
bidang sosial dengan judul On the Proper Sphere of Government pada 1842 dimuat
di majalah Non Conformist. Enam tahun kemudian, 1848, tulisan yang sama dimuat
The Economist, majalah ekonomi terkemuka yang berbasis di London.
Tulisan Spencer mendapat sambutan hangat penggemarnya
sehingga mereka rela membayar lebih dulu tulisan-tulisan Spencer sebelum
tulisan itu diterbitkan. Kondisi inilah yang mendorong Spencer untuk berpikir
alih profesi menjadi penulis ilmu pengetahuan bidang pengetahuan sosial, khususnya
sosiologi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, saat usianya menginjak 28
tahun dia pindah menjadi wakil editor majalah The Economist, berita mingguan
yang berbasis di London. Majalah ini merupakan oposisi pemerintah dan pendukung
perdagangan bebas. Melalui majalah ini Spencer banyak bertemu dengan orang
terkenal pada saat itu, seperti Thomas Huxley dan George Eliot.
Saat usianya memasuki 30 tahun, Spencer telah mampu
menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Social Statics. Tiga tahun kemudian,
pamannya (Thomas Spencer) meninggal dunia dan mewariskan harta cukup banyak
kepada Spencer. Berbekal warisan itulah Spencer berani memutuskan untuk
berhenti bekerja dan mencurahkan seluruh kegiatannya untuk menulis.
Keberhasilan Spencer menulis banyak buku karena selain gemar membaca, Spencer
adalah kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di
manapun di dunia, ini seorang yang rajin mengumpulkan informasi, membuat
sistematika atau klasifikasi data. Spencer memang sejak kecil mempunyai hasrat
dan keinginan yang besar untuk menambah dan mengumpulkan ilmu pengetahuan
sebanyak-banyaknya dan memahami keseluruhannya.
Spencer juga mengembangkan sistem filsafat dengan
aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme Jeremy Bentham
yang memelopori aliran gerakan reformasi. Jeremy Bentham berpendapat bahwa
logika ilmiah harus didasarkan pada pengetahuan yang cukup mengenai kondisi
kehidupan sosial yang aktual. Konsep ini mendahului konsep-konsep Charles
Darwin (Sukanto: 1982: 36).
Spencer adalah orang yang pertama kali memperkenalkan
konsep Survival of the fittest atau yang kuatlah yang akan menang dalam bukunya
Social Statics yang terbit pada tahun 1850. Konsep ini untuk menggambarkan
kekuatan fundamental ilmu biologi yang menjadi dasar perkembangan evolusioner.
Konsepsi ini dipengaruhi karya Thomas R. Malthus mengenai tekanan
kependudukan, An Essay on the Principle
of Population (1798). isi konsepnya
antara lain adalah perjuangan untuk dapat bertahan bagi suatu masyarakat atau
bagi beberapa masyarakat agar menghasilkan keseimbangan karena perubahan yang
terjadi dari keadaan yang homogen yang tidak terpadu menjadi heterogen yang
terpadu.
Sembilan tahun kemudian teori evolusioner karya Darwin
terbit. Spencer dan Darwin melihat adanya persamaan antara evolusi organisme
dengan evolusi sosial. Evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam
masyarakat yang berlangsung dalam waktu lama yang berawal dari kelompok suku atau masyarakat yang masih
sederhana dan homogen kemudian secara bertahap menjadi kelompok suku atau
masyarakat yang lebih maju dan akhirnya menjadi masyarakat modern yang kompleks
(Horton dan Hunt, 1989:208).
Selama hidupnya, Spencer menghasilkan sejumlah karya
besar. Sebagian besar pemikiran Spencer tentang sosiologi ditulis dalam 10 buku
(dua jilid Biologi, dua jilid psikologi, tiga jilid Sosiologi, dan dua jilid
tentang moralitas) yang kemudian dikemas menjadi Programme of a System of
Synthetic Philosophy (1862-1896). Paket ini memuat seluruh teori evolusi
universal, meliputi evolusi bilogi, psikologi, sosial, dan etika. Karya-karya
tersebut mengukuhkan dirinya sebagai penganut filsafat sintesis, yakni ilmu
filsafat yang menggabungkan beberapa ilmu pengetahuan menjadi satu (Soekanto,
1990).
Dari sederet karya tersebut, buku Principles of Sociology
merupakan karya monumental Spencer yang mendorong perkembangan Sosiologi
sebagai ilmu populer di masyarakat, terutama di Prancis, Jerman, dan Amerika
Serikat. Meski begitu, Spencer kurang mendapat sambutan di negeri sendiri.
Karya-karya Spencer senantiasa mendasarkan konsepsi bahwa
seluruh alam, baik yang berwujud organis, nonorganis, maupun superorganis
berevolusi karena dorongan kekuatan mutlak yang kemudian disebutnya sebagai
evolusi universal (Koentjaraningrat, 1987:34).
Gambaran menyeluruh tentang evolusi universal umat
manusia menunjukkan bahwa pada garis besarnya Spencer melihat perkembangan
masyarakat dan kebudayaan dari suatu bangsa di dunia sudah melalui tingkatan
evolusi yang sama.
Spencer menderita karena keengganannya membaca secara
serius karya-karya orang lain. Sebaliknya jika ia membaca karya lain sering
kali hanya dilakukan untuk mencari penegasan atas gagasannya sendiri yang
tercipta secara independen. Ia mengabaikan gagasan-gagasan yang tidak sejalan
dengan gagasannya.
Jadi rekan sejawatnya, Charles Darwin bercerita tentang
spencer: “jika saja ia mendidik dirinya untuk meneliti lebih banyak, bahkan
dengan…merugikan daya pikirnya sendiri, ia akan menjadi seorang yang luarbiasa”
(Wilt-shire, 1978:70). Herbert Spencer
meninggal pada 8 Desember 1903.
Sejak tahun 1879 spencer mengetengahkan sebuah teori
tentang Evolusi Sosial yang hingga kini masih dianut walaupun disana sini ada
perubahan. Evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara
pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu yang
lama. Sedangkan evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang
terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan
keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitive ke
masyarakat industri. Herbert spencer memperkenalkan pendekatan analogi organic,
yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang
terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Proses evolusi masyarakat yaitu perorangan-perorangan
bergabung menjadi keluarga, keluarga-keluarga bergabung menjadi kelompok,
kelompok-kelompok menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi Negara, dan
Negara menjadi perserikatan bangsa-bangsa(Veeger, 1992: 80).
Evolusi adalah penyatuan dan pengintegrasian materi
kedalam kesatuan-kesatuan yang lebih besar dan lebih rumit strukturnya. Spencer
mengatakan bahwa hukum yang ada pada masyarakat pada awalnya adalah hukum
keramat. Hukum keramat berasal dari nenek moyang yang berupa aturan hidup dan
pergaulan. Karena masyarakat semakin kompleks sehingga hukum keramat tersebut
tidak cocok lagi.
Maka timbullah hukum sekuler yaitu hukum yang
berlandaskan azaz saling butuh-membutuhkan secara timbal balik di dalam
masyarakat. Namun karena jumlah masyarakat semakin banyak maka dibutuhkan
sebuah kekuasaan otoriter dari raja untuk menjaga hukum sekuler tersebut..
dalam perkembangan selanjutnya timbullah masyarakat “beragama” sehingga
kekuasaan otoriter rajapun tidak lagi cukup. Untuk mengatasi hal tersebut
ditanamkanlah suatu keyakinan kepada masyarakat yang mengatakan bahwa raja
adalah keturunan dewa sehingga hukum yang dijalankan adalah hukum keramat.
Pada perkembangan selanjutnya timbulah masyarakat
industry, dimana kehidupan manusia semakin bersifat individualis sehingga hukum
keramat tidak bisa lagi mengaturkehidupan bermasyarakat. Maka muncul hukum
undang-undang.
Asal mula religi menurut Spencer adalah penyembahan roh
nenek moyang penyembahan dewa-dewa. Spencer mengatakan bahwa semua bangsa yang
ada di dunia ini, religi itu dimulai dengan adanya rasa sadar dan takut akan
maut.ia berpendapat bahwa religi tertua adalah penyembahan terhadap roh-roh
nenek moyang yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah
meninggal. Bentuk religi ini akan berevolusi ke bentuk religi yang lebih
kompleks yaitu penyembahan kepada dewa-dewa seperti dewa kejayaan, dewa perang,
dewa kebijaksanaan, dewakecantikan, dewa maut dll.
Spencer juga berpendapat bahwa dalam evolusi sosial
aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam
masyarakat, adalah hukum yang dapat melindungi kebutuhan warga masyarakat.
Sementara itu,
perspektif evolusioner adalah sudut pandang teoretis paling awal dalam
sosiologi. Hal tersebut berdasarkan pada
karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903). Keduanya
menaruh perhatian pada perkembangan masyarakat secara evolusioner dari
keseluruhan atau kesatuan yang utuh.
Spencer berpendapat bahwa pribadi mempunyai kedudukan
dominan dalam struktur masyarakat. Dia menekankan bahwa pribadi merupakan dasar
struktur sosial, meskipun masyarakat dapat dianalisis pada tingkat struktural.
Struktur sosial suatu masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotanya
memenuhi berbagai keperluan. Oleh karena
itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat individualistis. Terkait
ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat
modern, Spencer menilai masyarakat
bersifat organis. Pandangan ini yang kemudian menjadikan Spencer sering disebut
sebagai seorang teoretis organik karena usahanya memperluas prinsip-prinsip
evolusi pada ilmu biologi ke institusi sosial.
Lebih jauh Spencer mengungkapkan bahwa perubahan alamiah
dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat. Kumpulan pribadi dalam
masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang
pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.
Bagi Spencer, masyarakat
merupakan material yang tunduk pada hukum universal evolusi. Masyarakat
mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk
tertentu dalam masyarakat, terutama dalam organisasinya. Masyarakat tersusun
atas dasar hakikat manusia dan bentuknya sangat dipengaruhi oleh alam yang
sulit dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan oleh manusia sangat sulit
ditentukan akibatnya (Haryanto, tt:24).[8]
Diakui atau tidak, Spencer terpikat Darwinisme sosial
populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859),
sembilan tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya.
Spencer memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus
dilalui semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat
yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.
Evolusi terjadi pada tingkat organis dan pada tingkat
anorganis. Pada tingkat organis, perubahan terjadi dari sel homogen sederhana
menuju organisme terpadu yang lebih tinggi dan kompleks. Evolusi anorganis
prosesnya adalah proses yang bermula dari bulatan gas yang tidak menentu, tidak
terpadu dan homogen, kemudian menggumpal menjadi bintang, planet, matahari,
bulan yang berbeda yang kemudian diintegrasikan menjadi satu keseluruhan dalam
gerakan yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Selain evolusi organis dan
anorganis, ada evolusi yang disebut evolusi superorganis. Evolusi superorganis
ini hanya terjadi pada masyarakat. Evolusi superorganis di kemudian hari lebih
dikenal sebagai evolusi sosial dan evolusi produksi yang sekarang kita kenal
sebagai evolusi kebudayaan.
Seperti halnya sel pada organisme yang mempunyai cara dan
sifat masing-masing, Spencer menilai watak dan sifat manusia itulah yang membawa
perbaikan bagi masyarakat. Watak yang baik mudah menjadi teladan mengalami
kemajuan karena rintangan yang muncul dapat terkikis dengan sendirinya pada
saat terjadi proses menyelaraskan diri dengan masyarakat dan kemajuan. Hal ini
juga berarti perjuangan hidup (struggle for life) dapat diatasi sehingga
terbentuk masyarakat terbaik. Perjuangan hidup dan survival of the fittest
adalah suatu wujud tenaga evolusi dalam masyarakat. Hal ini membuat manusia
dalam masyarakatnya selaras dengan kehidupan politik, industri, dan sebagainya
di sekitarnya. Di sini Spencer melihat kehidupan dalam masyarakat selalu
mendorong anggotanya bersikap menyesuaikan diri dengan panggilan hidup yang
lebih maju.
Peraturan negara harus menjaga agar supaya rakyat dan
masyarakat dapat hidup merdeka dan memperjuangkan hidupnya. Spencer tidak
setuju dengan peraturan yang melindungi pihak yang lemah, yang tidak mampu
menyesuaikan diri terhadap kemajuan masyarakat. Spencer berpendapat bahwa pihak
yang lemah hendaknya binasa saja atau harus berusaha belajar keterampilan dan
keuletan sehingga nantinya yang akan tinggal hanya mereka yang terkuat (the
fittest).
Spencer berpendapat bahwa orang-orang cakap dan bergairah
(energik) yang akan mampu memenangkan perjuangan hidup dan berhasil, sedang
orang yang malas dan lemah akan tersisih dengan sendirinya dan kurang berhasil
dalam hidup. Kelangsungan hidup keturunan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh
kekuatan tenaga hidupnya. Kekuatan hidupnyalah yang mampu mengatasi kesukaran
ujian hidup, termasuk kemampuannya menyesuaikan diri (berevolusi) dengan
lingkungan fisik dan sosial yang selalu berubah dari waktu ke waktu.
Spencer berpendapat, suatu organisme akan bertambah
sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antara bagian-bagiannya.
Hal ini berarti ada organisme yang mempunyai fungsi yang lebih matang di antara
bagian-bagian lain dari organisme sehingga dapat berintegrasi dengan lebih
sempurna. Secara evolusioner, tahap organisme tersebut akan semakin sempurna
sifatnya. Dengan demikian organisme mempunyai kriteria yang dapat diterapkan
pada setiap masyarakat yaitu kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Evolusi
sosial dan perkembangan sosial pada dasarnya adalah pertambahan diferensiasi
dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari keadaan
homogen ke keadaan heterogen (Soekanto, 1990: 39-41).
Dalam bukunya Principles of Sociology, Spencer
berpendapat bahwa pada masyarakat industri yang telah terjadi diferensiasi
dengan mantap, akan ada stabilitas yang
menuju pada keadaan hidup yang damai. Seperti juga Comte, Spencer berpendapat
bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah menyesuaikan diri dengan panggilan
hidup dalam masyarakat sekitarnya yang selalu berevolusi menuju perbaikan dan
kemajuan.
Pusat perhatian Spencer juga tertuju pada gerak yang
dipandang sebagai suatu tenaga yang menggerakkan proses pemisahan
(diferensiasi, membedabedakan) dan proses mengikat (integrasi, persatuan).
Tenaga ini membawa kesamaan dan perpecahan dan ketidakpastian dalam evolusi
sehingga membentuk kelompok, golongan, ras, suku bangsa, bangsa, dan negara.
Evolusi terus berlanjut, ada yang menuju kesempurnaan, tetapi ada juga yang
sebaliknya. Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju
keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya.
Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi
pesatnya kemajuan ilmu biologi. Beberapa di antaranya adalah:
Pelajaran tentang sifat
keturunan (descension), Lamarck (1909) yang
menyatakan bahwa sifat manusia yang diturunkan kepada anak cucunya
sangat dipengaruhi oleh tempat tinggal dan
sifat bangsa itu. Teori evolusi ini berdasarkan pendapat bahwa hewan
yang bertulang punggung bisa menyempurnakan bentuk badannya berdasarkan
kebutuhannya kepada keturunannya.
Teori
seleksi dari Darwin (1859) mengatakan bahwa alam akan membuang segala sesuatu
yang tidak terpakai dan memperkuat segala sesuatu yang berguna, seperti yang
terjadi pada binatang, yang kuat akan mampu bertahan hidup dan yang lemah akan
binasa.
Teori
tentang penemuan sel. Tubuh hewan dan tumbuh-tumbuhan terdiri dari organisme
kecil-kecil yang disebut sel. Sel ini mempunyai sifat dan bentuk yang sama,
tetapi mampu mempengaruhi sifat binatang atau tumbuhan berdasarkan ciri yang
terkuat pada sel tersebut.
Teori-teori Spencer sangat dipengaruhi oleh pelajaran
tentang sifat keturunan Lamarck yang menyamakan masyarakat dengan suatu
organisme, dengan sel-selnya, dan selanjutnya ia membandingkannya seperti itu.
Pendapat tentang biologi mempengaruhi dunia filsafat, psikologi dan lain
sebagainya sehingga terjalin pertalian yang erat antara ilmu pengetahuan itu
dengan sosiologi.
Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer
mengelaborasi ide besarnya secara detail pada semua masyarakat sebelum dan
sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada tiga kecenderungan perkembangan
masyarakat dan organisme, yaitu:
1. Pertumbuhan dalam ukurannya
2. Meningkatnya kompleksitas struktur
3. Diferensiasi fungsi.
Spencer berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh
secara progresif menuju keadaan yang semakin baik. Karena itu, kehidupan
masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri, lepas dari campur tangan yang
mungkin akan memperburuk keadaan. Spencer menerima pandangan bahwa institusi
sosial sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi secara
progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Ia juga menerima sudut
pandang Darwinian bahwa proses seleksi alamiah, “survival of the fittest”, juga
terjadi dalam kehidupan sosial (istilah survival of the fittest justru
diciptakan oleh Spencer beberapa tahun sebelum karya Darwin mengenai seleksi
alam muncul). Jika tidak diganggu intervensi dari luar, individu yang layak
akan bertahan hidup dan berkembang, sedangkan individu yang tak layak akhirnya
punah. Spencer memusatkan perhatian pada individu, sedangkan Comte menekankan
pada unsur yang lebih besar seperti keluarga.
Ritzer dan Goodman (2007) merangkum teori evolusi Spencer
ke dalam dua perspektif. Pertama, teorinya berkaitan dengan peningkatan ukuran
(size) masyarakat. Peningkatan ini menyebabkan diferensiasi fungsi yang
dilakukannya. Kedua, masyarakat berubah melalui penggabungan. Makin lama makin
menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dia berbicara tentang gerak
evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke penggabungan dua kali lipat dan
penggabungan tiga kali lipat.
Di bagian lain, Spencer menawarkan teori evolusi dari
masyarakat militan ke masyarakat industri. Pada mulanya, masyarakat militan
dijelaskan sebagai masyarakat terstruktur guna melakukan perang, baik yang
bersifat defensif maupun ofensif. Sejalan dengan tumbuhnya masyarakat industri,
fungsi perang sebagai perubahan berakhir. Masyarakat industri didasarkan pada
persahabatan, tidak egois, dan penghargaan terhadap prestasi.
Dalam tulisannya
mengenai etika dan politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusi sosial yang
lain. Di satu sisi ia memandang masyarakat berkembang menuju ke keadaan moral
yang ideal atau sempurna. DI sisi lain ia menyatakan bahwa masyarakat yang
paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup
(survive), sedangkan masyarakat yang tak mampu menyesuaikan diri terpaksa
menemui ajalnya. Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan
diri masyarakat secara keseluruhan.
Spencer mengemukakan seperangkat gagasan yang kaya dan
ruwet. Mula-mula gagasannya menikmati sukses besar, tetapi kemudian ditolak
selama beberapa tahun, dan baru belakangan ini hidup kembali dengan munculnya
teori sosiologi neoevolusi.
Spencer membedakan empat
tahap evolusi masyarakat:
a. Tahap penggandaan atau pertambahan
b. Tahap kompleksifikasi
c. Tahap Pembagian atau Diferensiasi
d. Tahap pengintegrasian
2.3.6.2
Thomas
Robert Malthus
Malthus dilahirkan tahun
1766, dekat Dorking di Surrey, Inggris, dia bersekolah di Jesus College di
Universitas Cambridge selaku mahasiswa yang cemerlang. Dia tamat tahun 1788 dan
ditugaskan sebagai pendeta Anglikan pada tahun itu juga. Dan di tahun 1791 dia
peroleh gelar "master" dan tahun 1793 dia menjadi kerabat Jesus
College.
Versi pertama dari
hasil karyanya yang asli diterbitkan tanpa nama, tetapi buku itu terbaca luas
dan segera membikin Malthus tenar. Versi yang lebih panjang dari esainya
diterbitkan lima tahun kemudian, tahun 1803. Buku itu berulang kali diperbaiki
dan diperpanjang dan terbitan ke-6 muncul tahun 1826.
Malthus menikah tahun
1804 pada umur tiga puluh delapan tahun. Tahun 1805 dia ditunjuk jadi mahaguru
sejarah dan politik ekonomi di East India Company's College di Haileybury. Dia
jabat kursi itu selama sisa hidupnya. Malthus menulis berbagai buku lain
perihal ekonomi, dan yang paling penting diantaranya adalah The Principle of
Economy (1820). Buku ini mempengaruhi banyak ekonom yang datang kemudian, khusus
tokoh abad ke-20 yang terkenal: John Maynard Keynes. Dalam tahun-tahun terakhir
hayatnya Malthus peroleh berbagai penghargaan. Dia tutup mata tahun 1834 umur
enam puluh tujuh dekat kota Bath, Inggris. Malthus tak bercucu sama sekali.
Karena penggunaan kontrasepsi
tidak tersebar luas sampai jauh hari sesudah Malthus meninggal, sering dianggap
orang Malthus itu tak punya arti penting. Namun beberapa ahli menganggap ini
tidak betul. Sebabnya begini. Pertama, ide Malthus membawa pengaruh mendalam
baik kepada Charles Darwin maupun Karl Marx, yang mungkin merupakan dua pemikir
terpenting dan paling berpengaruh di abad ke-19. Kedua, walaupun jalan pikiran
neo-Malthusian tidak begitu saja ditelan bulat-bulat oleh mayoritas penduduk,
usul-usulnya tidaklah dianggap angin lalu begitu saja, lagi pula tak pernah
menguap habis. Gerakan Keluarga Berencana masa kini merupakan kelanjutan
langsung dari gerakan yang bermula pada saat masa hidupnya Malthus.
Thomas Malthus bukanlah
orang pertama yang minta perhatian adanya kemungkinan suatu pemerintahan kota
yang tenang tiba-tiba berantakan karena kebanyakan penduduk. Pikiran macam ini
dulu pernah pula diketemukan oleh pelbagai filosof. Malthus sendiri menunjuk
Plato dan Aristoteles sudah mendiskusikan perkara ini. Memang, dia mengutip
Aristoteles yang menulis antara lain: dalam rata-rata negeri, jika tiap
penduduk dibiarkan bebas punya anak semau-maunya, ujung-ujungnya dia akan
dilanda kemiskinan."
Tetapi, jika gagasan
dasar Malthus tidak sepenuhnya orisini , janganlah orang mengecilkan arti
pentingnya. Plato dan Aristoteles hanya menyebut ide itu sepintas lalu, dan
sentuhan permasalahannya umumnya sudah dilupakan orang. Adalah Malthus yang
mengembangkan ide itu dan menulis secara intensif pokok persoalannya. Dan yang
lebih penting, Malthus merupakan orang pertama yang menekankan kengerian
masalah kebanyakan penduduk, dan mengedepankan masalah ini agar menjadi pusat
perhatian kaum intelektual dunia.
Teori evolusi sudah dikemukakan sejak zaman Aristoteles dimana teori
tersebut berusaha menjelaskan proses evolusi yang meliputi sumber variabilitas,
organisasi variasi genetic dalam populasi, diferensiasi populasi, isolasi
reproduktif, asal mula spesies dan hibridisasi. Biologi Evolusi ilmu yang lunak
yang mempunyai daya prediksi lemah. Teorinya tersusun atas data yang tidak
lengkap atau yang belum sempurna dipahami, meskipun ia tergolong ilmu hayat,
bahasannya lebih cenderung ke kutup humanika daripada ke kutup eksakta. Teori
evolusi sendiri berevolusi sejak zaman Aritoteles melalui Cuvier, lamarck, ke
Erasmus Darwin dan Charles Darwin/Alfred Wallace. Tokoh yang paling terkenal
adalah Darwin. Darwin banyak terpengaruh oleh Linnaeus dan Malthus. Teori
evolusi sendiri lebih banyak dipengaruhi oleh de Vries dan Mendel, Morgan dan
Muller, lalu Mayr, Dobhansky. Di jaman Darwin belum ada genetika,
paleantropologi dan geokronologi, bahkan ilmu-ilmu lain juga belum berkembang,
seperti geologi, paleogeografi, dan embriologi komparati.
Penduduk masyarakat dan kebudayaan adalah konsep-konsep yang pertautannya
satu sama lain sangat berdekatan. Bermukimnya penduduk dalam suatu wilayah
tertentu dalam waktu yang tertentu pula, memungkinkan untuk terbentuknya
masyarakat di wilayah tersebut. Ini berarti masyarakat akan terbentuk bila ada
penduduknya sehinggat idak mungkin akan ada masyarakat tanpa penduduk,
masyarakat terbentuk karena penduduk. Sudah barang tentu penduduk disini yang
dimaksud adalah kelompok manusia, bukan penduduk/populai dalam pengertian umum
yang mengandung arti kelompok organisme yang sejenis yang hidup dan berkembang
biak pada suatu daerah tertentu.
Demikian pula hubungan antara masyarakat dan kebudayaan, ini merupakan
dwi tunggal, hubungan dua yang satu dalam arti bahwa kebudayaan merukan hasil
dari suatu masyarakat, kebudayaan hanya akan bisa lahir, tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Tetapi juga sebaliknya tidak ada suatu masyarakat yang tidak
didukung oleh kebudayaan. Hubungan antara masyarakat dan kebudayaan inipun merupakan juga hubungan yang saling
menentukan.
Penduduk, dalam pengertian luas diartikan sebagai kelompok organisme
sejenis yang berkembang biak dalam suatu daerah tetentu. Penduduk dalam arti
luas itu sering diistilahkan popuasi dan disini dapat meliputi populais hewan,
tumbuhan dan juga manusia. Dalam kesempatan ini penduduk digunakan dalam
pengertian orang-orang yang mendiami wilayah tertentu, menetap dalam suatu
wilayah, tumbuh dan berkembang dalam wilayah tertentu pula.
Adapun masyarakat adalah suatu kesatuan kehidupan sosial manusia yang
menempati wilayah tertentu, yang keteraturannya dalam kehidupan sosialnya telah
dimungkinkan karena memiliki pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan
mengatur kehidupannya. Tekanannya disini terletak pada adanya pranata sosia,
tanpa pranata sosial kehidupan bersama didalam masyarakat tidak mungkin
dilakukan secara teratur. Pranata sosial disini dimaksudkan sebagai perangkat
peraturan yang mengatur peranan serta hubungan antar anggota masyarakat, baik
secara perseorangan maupun secara kelompok.
Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia, ada yang mendefinisikan
sebagai semua hasil karya, rasa dan
cipta masyarakat. Karya manusia menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan, sedangkan rasa mewujudkan segala norma dan nilai untuk mengatur
kehidupan dan selanjutna cipta merupakan kemampuan berpikir kemampuan mental
yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Orang yang pertama mengemukakan teori mengenai penduduk ialah “Thomas
Robert Malthus. Dalam edisi pertamanya “Essay Population “ tahun 1798. Malthus
mengemukakan adanya dua persoalan pokok, yaitu bahwa bahan makanan adalah
penting utnuk kehidupan manusia dan nafsu manusia tidak dapat ditahan. Bertitik
tolak dari hal itu teori Malthus yang sangat terkenal yaitu bahwa berlipat
gandanya penduduk itu menurut deret ukur, sedangkan berlipat gandanya bahan
makanan menurut deret hitung, sehingga pada suatu saat akan timbul
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan penduduk.
Teori populasi malthus
disusun sebagai reaksi terhadap ide dari fulsuf popular dari masa pencerahan
abad 18: filsuf prancis Marquis de Condorcet dan menteri Inggris yang radikal, William Godwin.
Condorcet berpendapat bahwa kesetaraan
ekonomi yang yang lebih besar dan keadaan yang lebih aman bagi buruh dapat
meningkatkan kekayaan materi mereka. Untuk mencapai tujuan ini ia mendukung dua
reformasi, sistem kesejahteraan untuk memberikan keamanan bagi pekerja miskin,
dan peraturan pemerintah untuk menjaga agar suku bunga tetap rendah sehingga
keluarga yang membutuhkan dapat meminjam uang dengan biaya yang lebih rendah.
Owen berusaha untuk mengembangkan masyarakat utopian di dalam kota-kota
industri yang akan meningkatkan baik itu kondisi ekonomi maupun kondisi sosial
keluarga kelas buruh. Godwin (1793) bahkan lebih radikal dalam analisis dan
usulan kebijakannya. Ia menyalahkan system kapitalis karena menyebabkan
kemiskinan pra buruh. Kemudian ia menunut agar kekayaan diambil dari pemilikn
ya dan diberikan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya. Hal ini, kata
Godwin akan mengakhiri kemiskinan, ketidakadilan dan pederitaan manusia di
seluruh dunia.
Essay on Population mengambil inspirasi dari orang-orang tersebut;
tetapi karya ini ditulis untuk menolak argument mereka tentang kemungkinan
meningkatkan kondisi ekonomi. Malthus berpendapat bahwa kemajuan manusia adalah
tidak mungkin karena kemiskinan dan penderitaan merupakan hal yang tak
terelakkan dalam mayoritas dari setiap masyarakat. Lebih jauh ia berpendapat
bahwa semua usaha untuk mengurangi kemiskinan dan penderitaan, entah itu dengan
maksud yang baik atau telah dipikirkan dengan baik, hanya akan memperburuk
keadaan. Pendirian inilah yang membuat Thomas Carlisle menamakannya sebagai
“ilmu yang suram,” julukan yang terus dipakai selama lebih dari dua abad.
Malthus berkeyakinan
bahwa keadaan manusia tidak bisa ditingkatkan karena dua alasan. Pertama, ia
yakin:
1. bahwa
orang-orang dikendalikan oleh hasrat kesenangan seksual yang tak pernah puas.
Hal ini akan menyebabkan populasi bertambah yang jika tidak dikendalikan akan
tumbuh menurut deret geometris (ukur) 1, 2, 4, 8, 16, dan seterusnya.
2. Malthus
percaya bahwa diminishing return (pengembalian yang semakin menurun) berlaku
dalam sektor pertanian; yaitu, semakin banyak tanah yang ditanamai, maka setiap
penanaman lahan yang baru akan menghasilkan makanan yang lebih sedikit
ketimbang penanaman lahan yang sebelumnya. Karena alasan ini produksi makanan
hanya meningkat menurut deret aritmatika (angka) 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya.
Karena penduduk bertambah lebih cepat dari pada persediaan makanan, pada titik tertentu
jumlah populasi akan melebihi jumlah persediaan makanan yang dihasilkan untuk
memberi makanan penduduk.
Dalam edisi pertama
Essay on Population Malthus hanya menyebutkan “pengendalian positif” pada
pertumbuhan penduduk. Pengendalian ini adalah faktor-faktor yang meningkatkan
jumlah kematian, kelaparan, bencana alam, wabah penyakit dan perang. Tetapi
dalam edisi Essay yang kedua dan selanjutnya, Malthus menambahkan seperangkat
“pengendalian preventif” pantangan seksual, pengendalian kelahiran, dan menunda
perkawinan. Ini semua berakibat menurunkan
tingkat kelahiran dan pertumbuhan penduduk. Penggunaan pengendalian
preventif terhadap pertumbuhan penduduk juga mengurangi suara-suara yang
pesimis tentang sifat dari ramalan ekonomi. Tetapi Malthus masih berkeyakinan
bahwa karena adanya hasrat seksual yang kuat maka pertumbuhan penduduk tidak
banyak berkurang dengan pengendalian preventif; karena itu kesimpulannya masih
sama, yaitu tidak mungkin meningkatkan keejahteraan ekonomi secara keseluruhan.
Dari analisis ini maka
muncul pandangan yang menentang pendapat Condorcet, Owen dan Godwin. Jika
kekayaan dan pendapatan didistribusikan lebih merata, seperti yang didukung
oleh Godwin, atau jika keadaan orang miskin dibuat lebih baik melalui berbagai
reformasi sosial, seperti yang diusulkan oleh Owen dan Condercet, maka keluarga
buruh akan merespon dengan mempunyai anak yang banyak sehingga mereka segera
mendapati diri mereka menjadi miskin kembali. Karena alasan inilah Malthus
menentang setiap usaha untuk mensahkan bantuan bagi orang miskin. Menurutnya
hal ini hanya akan menghasilkan lebih banyak lagi orang-orang yang miskin.
Beberapa pengikut Malthus kontemporer (misalnya Murray, 1984) membuat argument
yang serupa dengan mempertahankan pendapat bahwa bantuan pemerintah hanya akan
menyebabkan penerima yang makmur akan lebih banyak punya anak, karena itu akan
lebih memperburuk keadaan ekonomi mereka.
Pencerahan abad 18
dipimpin oleh sekelompok ilmuwan, filsuf dan penulis yang lebih memilih ilmu
pengetahuan ketimbang takhayul lebih memilih akal ketimbang iman, toleransi
ketimbang fanatisme, individualisme ketimbang kolektivisme, dan materialisme
ketimbang pengiritan. Orang-orang pencerahan ini Locke, Voltaire, Montesquieu,
Jefferson, Paine, Franklin sangat percaya pada kemajuan ekonomi dan
egalitarianisme kebanyakan dari mereka setuju bahwa pertumbuhan populasi akan
bermanfaat dan menjadi sumber kekuatan dan inovasi di bidang ekonomi dan
politik.
Salah satu tokoh
optimis di abad pencerahan ini adalah Marie Jean- Antoine- Nicholas de caritate
(1743-94), yang lebihg dikenal sebagai Marquis de Condorcet. Condorcet adalah
seorang ahli matematika dan libertian yang memiliki kemampuan membuat perkiraan
secara menajubkan. Condorcet meramalkan bahwa dalam jangka waktu 200 tahun ke
depan akan terjadi peningkatan produktivitas dalam bidang manufaktur dan
agrikultur, perumahan dan makanan, dan peningkatan subtansial dalam jumlah
penduduk dan harapan hidup, serta kemajuan pesat di bidang teknologi pengobatan
dan penghilangan penyakit (Kramnick 1995:26-38). Dia menulis karya terakhir ini
dengan judul “The Future Progress Of The Human Mind”, saat dia bersembunyi
karena diancam hukuman mati.
William Godwin juga
orang yang optimis, tetapi agak esentrik. Menteri Inggris ini adalah seorang
anarcho- communitarian yang idealistik, yang diilhami oleh Revolusi Prancis.
Dia menolak visi Hobbesian tentang kehidupan yang “kacau, kasar dan singkat”.
Dia sepaham dengan Adam Smith yang membayangkan munculnya dunia baru yang
makmur. Dia percaya bahwa kejahatan akan lenyap, relasi manusia akan harmonis
secara sempurna dan manusia bisa abadi, hanya jika hukum dan property
dihilangkan. Godwin menyuarakan optimismenya dalam karyanya yang berjudul
political justice (1793), yang berisi tentang era baru yang dicirikan oleh
manusia yang sehat, panjang umur, dan baik. Dia meramalkan , “tidak akan ada
penyakit, atau kemarahan, atau kesedihan atau kekecewaan”, dan pemerintah tidak
akan lagi dibutuhkan karena “ setiap orang akan berbuat demi kebaikan
semuanya”.
Essay on population berisi dua
‘hukum alam” yang dianggap sebagai “kebenaran yang tidak terbantahkan”.
Pertambahan penduduk
Apakah “hukum alam”
pertama Malthus benar, yakni bahwa populasi bertambah menurut deret ukur?
cenderung membenarkan proposisi pertama Malthus. Populasi dunia memang
bertambah secara geometris, bahkan sampai sekarang. Pada masa Malthus, penduduk
dunia kurang dari 1 miliar. Kini jumlahnya sekitar 6 miliar.
Akan tetapi, dengan
melihat lebih dalam pada peningkatan tajam penduduk dunia sejak 1800, kita
melihat bahwa penyebabnya tidak bersifat Malthusian. Kenaikan populasi
berkaitan dengan dua factor yang tak dilihat oleh Malthus. Terjadi penurunan
tajam dalam tingkat kematian bayi karena berkurangnya penyakit mematikan berkat
kemajuan ilmu kedokteran.
Ada peningkatan usia
harapan hidup berkat meningkatnya standar hidup; terobosan di bidang
pengobatan; peningkatan sanitasi, perawatan kesehatan dan gizi; dan penurunan
tingkat kecelakaan. Akibatnya, makin banyak orang yang bisa hidup sampai usia dewasa,
dan bahkan sampai usia lanjut.
Kedua faktor itu bertentangan
dengan ramalan Malthusian tentang penderitaan dan kematian.
Penurunan angka kelahiran
Cacat lain di dalam
visi muram Malthus dan pengikutnya adalah penurunan angka kelahiran di paruh
kedua abad 20 baik di Negara industri maju maupun berkembang. Selamalimapuluh
tahun terakhir, angka rata-rata kelahiran di Negara maju telah menurun dari 2,8
menjadi 1,9 dan di Negara berkembang turun dari 6,2 ke 3,9. tren ini sangat
jelas: perempuan melahirkan anak lebih sedikit dan di Negara yang lebih maju
angka kelahirannya jaug berkurang. Ringkasnya,tingkat geometris pertambahan
penduduk mungkin menurun sampai deret hitung.
Penurunan jangka panjang dalam
angka kehamilan disebabkan oleh dua faktor:
·
terobosan pengobatan
·
naiknya pendapatan
karena teknologi medis yang lebih
baik, nutrisi yang lebih baik, maka pasangan suami istri merasa bahwa mereka
tidak perlu melahirkan lebih banyak anak untuk mengganti anak-anak yang
meninggal.
Malthus berpendapat
bahwa tingkat pendapatan yang tinggi hanya akan mendorong lebih banyak anak.
Menurutnya, ketika pendapatan per kapita meningkat, populasi akan meningkat
lebih cepat, yang pada gilirannya mengurangi pendapatan perkapita sampai ke
tingkat subsistensi.
Akan tetapi, bukti
historis belakangan ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Orang yang lebih kaya
cenderung memiliki anak lebih sedikit. Ada beberapa alasan mengapa keluarga
kaya umumnya punya sedikit anak. Di banyak kultur, memiliki anak sebanyak
mungkin akan memperbesar kemungkinan bahwa orang tuanya akan mendapat perawatan
yang cukup di usai lanjut. Jadi, anak-anak dianggap sebagai aset keuangan yang
berharga yang dapat memberikan pendapatan dimasa depan. Dengan bertambahnya
pendapatan sekarang ini maka tidak lagi dibutuhkan lebih banyak anak, dan
membesarkan anak-anak kini bahkan dianggap membutuhkan biaya mahal. Lebih jauh,
peningkatan pendapatan biasanya berarti tingkat pendidikan yang lebih tinggi
dan pemahaman yang lebih baik tentang metode pengendalian kelahiran.
Dampak dari pendapatan
tinggi terhadap angka kelahiran memberi pesan yang jelas kepada bangsa
berkembang yang peduli terhadap kontrol kelahiran: metode pengurangan kehamilan
yang lebih baik adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan
“kekayaan universal”, sebagaimana dikatakan Adam Smith. Standar hidup yang
lebih tinggi jauh lebih baik ketimbang campur tangan pemerintah terhadap
kehidupan pribadi keluarga.
Dalam edisi kedua dan
selanjutnya, Malthus merevisi teorinya yang terlalu sederhana dan mengatakan
bahwa manusia tidak selalu berperilaku seperti lalat, tetapi manusia lebih
besar kemungkinannya untuk mengubah perilakunya ketimbang hewan atau tanaman.
Malthus menyebut kemampuan ini sebagai “preventive check” terhadap pertambahan
penduduk. Dalam edisi pertama dia mengidentifikasi beberapa perintang
pertambahan penduduk, antara lain kelangkaan makanan, penyakit, wabah, kelapran
dan kejahatan, tetapi dia menyimpulkan bahwa erintang ini pada akhirnya akan
gagal melemahkan keuatan reproduksi seksual. Dalam edisi kedua Malthus merasa
bahwa perintag preventif, seperti menunda pernikahan dan mengurangi hubungan
seksual dalam keluarga, dapat mengurangi tingkat pertambahan penduduk. Tetapi,
malthus mulai ragu dan kembali ke keyakinan 1985:24,238). Jelas, bahwa malthus
meremehkan kemampuan manusai untuk mnegubah sikap mereka terhadap kelahiran
anak.
Tidak lama setelah
Malthus mengemukakan pendapatnya, timbullan kemudian bermacam-macam
teori/pandangan sebagai kritis atau sebagai perbandingan atas teori Malthus.
,misalnya saja pandangan yang mengemukakan bahwa pertambahan penduduk itu
merupakan hasil (resulta) dari keadaan sosial termasuk ekonomi, dimana orang
saling berhubungan dan terkenal sebagai teori sosial tentang pertambahan
penduduk.
Disamping itu ada juga
yang berpendapat bahwa manusia itu dalam kehidupannya terkait dengan alam atau
daerah dimana mereka hidup. Oleh karena itu penduduk dunia itu bertambah karena
kelahiran lebih besar dari kematian, sehingga tingkat kelahiran lebih besar
dari tingkat kematian. Ini disebabkan karena manusia sebagai mahluk hidup akan
selalu berusaha agar mempunyai keturunan dan memperjuangkan hidupnya untuk
dapat hidup panjang (berumur panjang) dan ini sering dikenal dengan teori alam
tentang pertumbuhan penduduk.
Dalam perkembangan pemikiran yang
menyangkut awal mula munculnya mahluk manusia yang diperkirakan 1 juta tahun lalu terdapat beberapa pemikiran :
1.
Pemikiran pertama,
manusia diciptakan hanya sekali saja
yaitu monogenesis yaitu dari
mahluk induk , dan semua mahluk manusia yang ada di dunia ini keturunan Nabi
Adam, pemikiran ini bersumber dari kesejarahan bangsa bangsa semit (Yahudi dan
Arab) yang disosialisasikan melalui kitab suci agama agama besar seperti agama Yahudi, Nasrani dan Islam.
Pemikiran ini sangat mempengaruhi pemikiran seluru bangsa bangsa di dunia
hingga masa renaisanse.
2.
Pemikiran kedua,
polygenesis yaitu makhluk manusia
diciptakan beraneka macam, pemikiran ini
berkembang kuat setelah tulisan The
Origin of Species karya ahli biologi Charles Darwin (1859), pemikiran kedua ini
juga menganggap orang Eropa sebagai orang yang terbaik dan kuat. Pemikiran
manapun yang dianut dalam perspektif kependudukan tidaklah masalah dan yang
pasti bahwa pada awalnya mahluk manusia
yang secara agregrat jumlahnya masih
sangat sedikit, menurut pemikiran monogenesis berarti pada tahun tahun
awal manusia hanya berjumlah dua orang/jiwa (Adam dan Hawa) yan terus
berkembang sangat cepat.
2.3.6.3
Aguste comte
Aguste Comte lahir di
Montpelier, Prancis pada 19 Januari 1798. Orang tuannya adalah anggota kelas
menegah yang pada akhirnya ayahnya naik posisi sebagai agen pejabat lokal untuk
mengumpulkan pajak. Meskipun dia adalah mahasiswa yang cepat dewasa, Comte
tidak pernah menerima gelar tigkat-perguruan tinggi. Dia dan seluruh kelasnya di pecat dari Ecole
Polytechnique karena sikap memberontak dan ide-ide politis mereka. Pengusiran
itu berdampak sebaliknya pada karis akademik Comte. Pada 1817 dia menjadi
sekertaris Claude Henri Saint-Simon, seorang filsuf senior Comte yang berusia
40 tahun. Mereka ekerja sama dengan erat selam a bertahun-tahun, dan Comte
mengakui utangnya pada Saint-Simon.”tentu saja saya berhutang banyak secara
intelektual kepada Saint-Simon, dia mempunyai sumbangan yang besar dalam
meluncrkan saya ke arah filosofi yang saya cimpatakan untuk diriku masa kini
dan akan saya ikuti tampa ragu sepanjang hidup saya”. Akan tetapi pada 1824
mereka terlibat pertengkaran besar karena Comte percaya Saint-Simon ingin
menhapus nama Comte dari salah satu kontribusinya. Lalu Comte menulis
Hubungannya dengan Saint-Simon adalah hubungan pembawa bencana dan melukiskan
Saint-Simon sebagai pesulap yang merusak. Pada 1825 Comte mengatakan sesuatu
tentang Saint-Siomn “saya tidak pernah berhutang apa pun pada orang terkemuka
itu”.
Heilbron melukiskan
Comte sebagai pria pendek, mungki lima kaki dua inci, agak juling, dan sangat
resah di dalam situasi-situasi sosial, khususnya di situasi yang melibatkan
wanita. Dia juga terasing dari masyarakat secara keseluruhan. Fakta-fakta
tersebut dapat memahami fakta bahwa Comte meniah dengan Coraline Massin(
perkawinan yang berlangsung dari 1825 hingga 1842). Wanita itu adalah anak
haram yang kemudian oleh Comte di sebut seorang pelacur, meskipun label itu
telah di pertanyakan baru-baru ini. Keresahan pribadinya kontras dengan
keyakinan Comte dengan kecakapan intelektualnya sendiri, dan tampaknya rasa
hargadirinya cukup mantap:
Ingatan Comte yang
luarbiasa sangat terkenal. Di berkati dengan ingatan fotogafis dia dapat
mengeja kata-kata setiap halaman buku yang baru dia baca. Daya konsentrasinya
sedemikian rupa sehingga dia dapat meringkas isi buku tampa menulisnya.
Kuliah-kuliahnya semua di sampaikan tampa catatan. Ketika dia duduk untuk menulis
buku-bukunya dia menulis segalanya berdasarkan ingatan.
Pada 1826, Comte
menyiapkan suatu sekma yang di gunakan untuk menyampaikan serangkaian dari
tujuh puluh kuliah public mengenai filsafatnya. Kuliah itu menarik para
pendengar terpandang, tapi setelah melaksanakan tiga kuliah, Comte menderita
gangguan saraf dan kuliah di hentikan. Dia terus menderita karena
masalah-masalah mental, dan sekali pada 1827 dia mencoba bunuh diri dengan
melemparkan dirinya ke dalam sungan seine.
Meskipun dia tidak
mendapat posisi tetetap di Ecole Polytechnique, Comte benar-benar mendapat
posisi minor sebagai seorang asisten pengajar di sana pada 1832, pada 1837
Comte di beri posisi tambahan sebagai penguji penerimaan maha siswa, dan inilah
untuk pertama kalinya yang memberi penghasilan yang memadai, karena sebelumnya
dia bergantung secara ekonomi kepada keluarganya. Selama periode tersebut Comte
menggarap karya Cours The Philosophie Positive yang terdiri dari enam volume,
yang membuatnya termasyhur. Setelah volume pertama di terbitkan tahun 1830,
pada akhirnya buku itu di terbitkan sekaligus pada 1842. Di dalam buku itu
Comte menguraikan pandangannya ahwa sosiologi adalah ilmu terakhir. Dia juga
menyerang Ecole Polytechniqe. Dan hasilnya pada 1844 jabatannya sebagai asisten
tidak di perpanang lagi. Pada 1851 dia tengah merampungkan System de Politique
Positive yang terdiri dari empat volume. Buku itu mempunyai maksud yang lebih
praktis, yang mengajukan rencana besar untuk mengorganisasian kembali
masyarakat.
Heilbron berargumen
bahwa kehidupan besar terjadi dalam kehidupan Comte pada 1838 dan pada waktu
itu lah dia kehilanggan harapan bahwa ada yang menanggapi secara serius
karyannya di bidang ilmu secara umum, dan sosiologi secara khusus. Juga pada
titik itulah dia memulai dalam hidupnya aksi pembersihan otak. Yakni Comte
menolak untuk mebaca karya orang lain dan akibatnya dia tidak mengikuti
perkembangan-perkembangan intelektual mutahir. Barulah sesudah 1838 dia mulai
megembangkan ide-ide nya yang ganjil tentang pembaruan masyarakat yang di
ungkapkan dalam Sistem de Politique Positive. Comte membayangkan dirinya
sebagai imam tinggi suatu agama baru umat manusia; dia percaya bahwa pada
akhirya akan ada satu dunia yang di pimpin para sosiolog-imam. Menariknya
walaupn dia memppunyai ide-ide seperti itu tapi, pada akhirnya Comte mendapat
sejumlah besar pengikut di Prancis, dan juga di beberapa negara lain Auguste
Comte wafat pada 5 September 1857.
Positivisme lahir
sebagai reaksi terhadap zaman pencerahan., pengaruh Pencerahan pada teori
sosiologi lebih bersifat tidak langsung dan negatif ketimbang bersifat langsung
dan positif. Zaman pencerahan menyebabkan beberapa “penyakit” pada masyarakat.
Oleh karena itu Comte menginginkan adanya perubahan atau reformasi sosial untuk
memperbaiki “penyakit” yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis dan Pencerahan
itu. Comte hanya menginginkan evolusi alamiah di masyarakat.
Comte hidup pada masa
revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua
aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap
yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih baik
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap konservatif
atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan sikap individualis.
Lingkungan intelektual
Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat
sejarah yang memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang
lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Para peminat
filsafat sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai
apakah sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu
rencana yang dapat diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah
memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan.
Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de St Pierre, Bossuet,
Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat masalah-masalah penataan
masyarakat menaruh perhatian pada masalah integrasi dan ketidaksamaan.
Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau, De Bonald.
Dua tokoh filusuf
sejarah yang mempengaruhi Comte adalah turgot dan Condorcet. Turgot merumuskan
dua hukum yang berkaitan dengan kemajuan. Yang pertama berisi dalil bahwa
setiap langkah berarti percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap
perkembangan intelektual, pertama, orang pertama menemukan sebab-sebab adanya
gejala-gejala dijelaskan dalam kegiatan mahluk-mahluk rohaniah, kedua,
gejala-gejala dijelaskan dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga orang
menggunakan matematika dan eksperimen. Menurut Condorcet, Studi sejarah
mempunyai dua tujua, pertama, adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan
asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya
Sejarah). Tujuan kedua adalah untuk menggantikan harapan masa depan yang
ditentukan oleh wahyu dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler. Menurut
Condorcet ada tiga tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan antar
negara, perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan manusia
sesungguhnya. Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa belajar sejarah itu dapat
melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan
peradaban manusia, da menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap alamnya.
Dan penulis yang
meminati masalah penataan masyarakat, Comte dipengaruhi oleh de Bonald, dimana
ia mempunyai pandangan skeptis dalam memandang dampak yang ditimbulkan revolusi
Perancis. Baginya revolusi nii hanya menghasilkan keadaan masyarakat yang
anarkis dan individualis. De Bonald memakai pendekatan organis dalam melihat
kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok orang yang diterangi semangat
Gereja. Individu harus tunduk pada masyarakat.
Comte adalah tokoh
aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris
dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran
ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis
dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat
positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru
sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus
mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap
perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap
metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat
industri.
Comte menuangkan
gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang
merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan
merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam
tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika
dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara
gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan
gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet). Bagi Comte untuk
menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya
tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu
1. Metode
ini diarahkan pada fakta-fakta.
2. Metode
ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode
ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode
ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif
juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen
dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu
alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk
mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Comte termasuk pemikir
yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi
pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan
hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang
mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar untuk
mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan
institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.
Comte juga melihat
bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organisk yang kenyataannya lebih
dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti
kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat
meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti
halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte
mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh
bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini
[eneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak
semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu
Eksperimen, metode ini bisa dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode
ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya
metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan menggunakan
metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang
bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu, pertama, Tahap Teologis,
merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini
dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang
dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda
memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul adanya
anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala
alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal,
dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
Kedua, Tahap Metafisik
merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini
ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat
ditemukan dalam akal budi. Ketiga, Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan
data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi
pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa
semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data
baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi.
Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk
memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.
Comte mengatakan bahwa
disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah
pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan
pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan
telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya
telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu
kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat
untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada tahap teologis,
keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan
negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu
organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai
dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah
sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama
Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat
positif ini).
2.3.7
TEORI
MODERNITAS
2.3.7.1
Jurgen
Habernas
Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni
1929 di Dusseldorf Jerman. Pengalaman pahitnya sewaktu remaja yang ditandai
dengan dua peristiwa besar Perang Dunia II dan hidup di bawah tekanan rezim
nasional-sosialis Adolf Hitler, mengantarkannya untuk mengintrodusisasi
pentingnya demokrasi dalam pemikiran politiknya (Santoso, 2003: 219).
Awal pendidikannya dimulai dengan
mempelajari filsafat di Universitas Gottingen dan Bonn dan mulai bergabung ke
dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah
Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia
27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno
(seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for Social Research)
antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil
menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und
die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi
buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan
Sejarah dalam pemikiran Schelling (Santoso, 2003: 219).
Habermas melibatkan diri dalam
kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitationsschrift yang
berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan dalam Struktur
Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara
karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu
dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan
kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri
tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan
kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat (Santoso, 2003:
220).
Satu hal yang penting dalam memahami
posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa
Frankfrut, seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam
gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left), meskipun
keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia terutama
menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer
Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Habermas
mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan
tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse, namun sejak tahun 1970-an,
hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai
melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti
para pendahulunya. Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan
itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “Revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan
yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif (Santoso, 2003: 221).
Konfontrasi itu agaknya membuka
tahapan baru dalam posisi Habermas sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970
ia mengajukan pengunduran diri dari Frankfrut dan bergabung pada Institut lain,
yaitu Max Planck Institute zur Erfoschung der Lebensbedingungen
Wissenshaftlich-technischen Welt (Institut Max Planck untuk Penelitian
Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama dengan
C.F.Von Weizsacker, bahkan Habermas pada tahun 1972 sempat menjabat sebagai
direkturnya dan diangkat sebagai profesor filsafat dan pensiun tahun 1994. Ia
juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar teori kritisnya yang
berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahu-pendahulunya, seperti Adorno,
Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna dengan pemikir Marxis pada
umumnya (Santoso, 2003: 221).
Jurgen
Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman.Ia
adalah generasi kedua dari Mazhab
Frankfurt. Jurgen Habermas adalah penerus dari Teori
Kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya (Max Horkheimer, Theodor Adorno,
dan Herbert
Marcuse). Teori Kritis yang dipaparkan oleh para
pendahulunya berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan. Akan tetapi, Teori
Kritis tidak berhenti begitu saja, Jurgen Habermas telah membangkitkan kembali
teori itu dengan paradigma baru.
Menurut Habermas, Teori
Kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah’ sebagaimana dikenal secara luas di kenal
di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas melukiskan Teori
Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis
antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah
dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta obyektif seperti
dianut teori-teori positivis. Teori Kritis hendak menembus realitas sebagai
fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental
yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa
Teori Kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan
oleh pengalaman kontekstual. Degan demikian Teori Kritis tidak hendak jatuh
pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan dialektika antara
pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris.
2.3.7.2 Anthony Giddens
Anthony
Giddens dilahirkan di Edmonton, London utara, Inggris pada tanggal 18 Januari
1938. Ia adalah sosiolog asal Britania Raya. Giddens belajar di Universitas
Hull, di the London School Economics, dan di Universitas London. Tahun 1961 ia
diangkat menjadi dosen di Universitas Leicester. Karya awalnya bersifat empiris
dan memusatkan perhatian pada masalah bunuh diri. Tahun 1969, ia beralih
jabatan menjadi dosen sosiologi di Universitas Cambridge dan sebagai anggota
King’s College. Ia terlibat dalam studi tentang pencampuran kultur,
menghasilkan bukunya yang pertama yang mencapai penghargaan internasional,
berjudul The Class Structure of Advanced Societies (1975).
Selama dekade berikutnya, ia menerbitkan sejumlah karya teoritis penting. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal sebagai teori strukturasi. Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku The Constitution of Society : Outline of the Theory of Society, yang merupakan pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teoritis Giddens. Tahun 1985 ia diangkat menjadi Profesor Sosiologi di Universitas Cambridge. Giddens berpengaruh dalam teori sosiologi lebih dari dua dekade. Ia pun berperan penting dalam membentuk sosiologi Inggris masa kini. Salah satunya, ia menjadi konsultan editor dua perusahaan penerbitan. Macmillan dan Hutchinson. Lebih penting lagi, ia adalah salah seorang pendiri Polity Press, sebuah perusahaan penerbitan yang sangat aktif dan berpengaruh terutama dalam teori sosiologi. Giddens pun menerbitkan Sociology (1987), sebuah buku ajar yang ditulisnya menurut gaya Amerika, yang mencapai sukses di seluruh dunia. Di 1980-an, karir Giddens mengalami serangkaian perubahan menarik. Beberapa tahun terapi menggiringnya kepada ketertarikan yang lebih besar terhadap kehidupan personal dan buku-buku seperti Modernity and Self-Identity (1991) dan The Transformation of Intimacy (1992). Terapi juga memberikan kepadanya kepercayaan diri untuk menjalankan peran publik serta menjadi salah seorang penasehat Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Pada 1997 beliau menjabat sebagai direktur London School of Economic (LSE), sebuah sekolah yang sangat disegani. Beliau memperkuat reputasi akademis LSE dan pengaruhnya dalam wacana publik baik di Inggris maupun di seluruh dunia. Ada beberapa suara yang menyatakan semua ini yang mengakibatkan kemunduran kemampuan akademis Giddens (karyanya di 1990-an kurang dan membingungkan dibanding karya terdahulunya). Tapi beberapa waktu kemudian, beliau kembali berkonsentrasi untuk menjadi kekuatan yang patut dipertimbangkan di masyarakat.
Selama dekade berikutnya, ia menerbitkan sejumlah karya teoritis penting. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal sebagai teori strukturasi. Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku The Constitution of Society : Outline of the Theory of Society, yang merupakan pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teoritis Giddens. Tahun 1985 ia diangkat menjadi Profesor Sosiologi di Universitas Cambridge. Giddens berpengaruh dalam teori sosiologi lebih dari dua dekade. Ia pun berperan penting dalam membentuk sosiologi Inggris masa kini. Salah satunya, ia menjadi konsultan editor dua perusahaan penerbitan. Macmillan dan Hutchinson. Lebih penting lagi, ia adalah salah seorang pendiri Polity Press, sebuah perusahaan penerbitan yang sangat aktif dan berpengaruh terutama dalam teori sosiologi. Giddens pun menerbitkan Sociology (1987), sebuah buku ajar yang ditulisnya menurut gaya Amerika, yang mencapai sukses di seluruh dunia. Di 1980-an, karir Giddens mengalami serangkaian perubahan menarik. Beberapa tahun terapi menggiringnya kepada ketertarikan yang lebih besar terhadap kehidupan personal dan buku-buku seperti Modernity and Self-Identity (1991) dan The Transformation of Intimacy (1992). Terapi juga memberikan kepadanya kepercayaan diri untuk menjalankan peran publik serta menjadi salah seorang penasehat Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Pada 1997 beliau menjabat sebagai direktur London School of Economic (LSE), sebuah sekolah yang sangat disegani. Beliau memperkuat reputasi akademis LSE dan pengaruhnya dalam wacana publik baik di Inggris maupun di seluruh dunia. Ada beberapa suara yang menyatakan semua ini yang mengakibatkan kemunduran kemampuan akademis Giddens (karyanya di 1990-an kurang dan membingungkan dibanding karya terdahulunya). Tapi beberapa waktu kemudian, beliau kembali berkonsentrasi untuk menjadi kekuatan yang patut dipertimbangkan di masyarakat.
Dunia zaman sekarang bagi Giddens memang dicengkeram oleh
kekerasan. Akan tetapi yang lebih menggelisahkannya—sebagai resiko modernisasi
dan globalisasi—adalah kelangsungan hidup manusia selalu terancam, misalnya
perang nuklir, resiko lingkungan, resiko meluasnya jumlah peristiwa dan beberapa
resiko lainnya.
Ambisi Giddens—kalau boleh dikatakan demikian, bukan hanya
memperbaiki teori sosiologi sehubungan dengan gejala perang. Dalam wawancaranya
dengan Pierson, ia mengatakan: ”Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang
pemikiran sosial, membangun logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan
mengajukan analisis tentang munculnya institusi-institusi modern”. Rupanya
Giddens tidak hanya ingin mengkritik dan mengecam kegagalan teoretisi
pendahulunya, tetapi ia juga ingin mengajukan alternatif. Bukan sembarang
alternatif, melainkan sebuah alternatif yang bersifat paradigmatic shift.
Harap dicatat bahwa proyek yang ambisius ini sebenarnya
bukan cita-cita Giddens sejak muda. Cita-cita Anthony Giddens semula sederhana
saja: menjadi pegawai negeri. Sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga
pengawal jawatan kereta api, ia hanya dapat melanjutkan studi di Universitas
Hull, sebuah universitas kecil yang kalah bergengsi dibandingkan Universitas
Oxford atau Cambridge. Giddens sendiri memang tidak melamar ke sana karena
tidak membayangkan dapat diterima di sana. Demikian pula ketika ia harus
meluruskan studi lanjutannya di London School of Economics (LSE). Ia ke sana
semata-mata karena ada dorongan dari dosennya, Peter Worsely. Perjalanan karir
intelektualnya tidak pernah dirancang sejak muda, banyak hal-hal kebetulan yang
terjadi. Ia mulai mengembangkan minat intelektual justru ketika ia di Leicester
University, tempat kerjanya setelah lulus.
Giddens memulai proyeknya dengan cara yang biasa. Ia mulai dengan
membaca dan mempelajari pemikiran tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam
sosiologi, Karl Marx, Emili Durkheim, dan Max Weber. Semuanya dibaca dalam
bahasa aslinya (Jerman atau Perancis). Setelah tokoh-tokoh sosiologi dikuasai,
Giddens melanjutkan petualangannya dengan memasuki pemikir-pemikir besar
kontemporer.
Anthony
Giddens menggunakan istilah seperti “radikal” atau “tinggi”, untuk melukiskan
masyarakat dewasa ini dan untuk menandai bahwa meski masyarakat modern kini tak
persis sama dengan masyarakat modern seperti yang dilukiskan teoritisi klasik,
namun cirri-ciri mendasarnya masih berlanjut, Giddens melihat modernitas
sekarang sebagai “juggernaut” yang
lepas control.
Modernitas dan
Konsekwensinya. Ada 4 institusi yang digunakan Giddens dalam mendefinisikan
modernitas. Pertama, Kapitalismeyang nampak dalam produksi komoditi,
kepemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa property dan system kelas.
Kedua, Industrialisme yang melibatkan yang melibatkan penggunaan sumber daya
alam dan mesian untuk memproduksi barang. Ketiga, Kemampuan mengawasi
(surveillance capacity) yaitu kemampuan mengawasi pada aktivitas warga
individual, khususnya dalam bidang politik. Keempat, kekuatan militer atau
pengendalian alat-alat kekerasan. Termasuk disini industri alat-alat perang.
Keterlepasan
menyebabkan hubungan social terangkat dari konteks local interaksi ke tingkat
yang melintasi ruang dan waktu yang tak terbatas. Ada 2 tipe mekanisme
keterlepasan:
1. Tanda
simbolik; UANG. Dengan uang kita dapat bertransaksi dengan orang yang jauh
terpisah dengan kita dalam ruang dan waktu.
2. Sistem
keahlian (expert system): yakni sistem kecakapan teknis atau keahlian
professional yang mengorganisir bidang materi dan lingkungan social dimana kita
hidup, misalnya dokter dan pengacara.
Namun demikian, Giddens
melihat ada beberapa bahaya yang berkaitan dengan modernitas yang mengancam dan
akan menimbulkan ketidakamanan ontologism. Meskipun mekanisme pemisahan memberi
keamanan dalam berbagai bidang namun juga menciptakan “profil resiko”
tersendiri yang berskala global sepert perang nuklir, perubahan dalam pembagian
tenaga kerja diseluruh dunia. Ada pula resiko lain yang berasal dari
pengelolaan lingkungan material dan ciptaan institusional resiko lingkungan
seperti pasar modal global. Selain itu orang makin menyadari bahwa agama kurang
penting. Resiko-resiko inilah yang membuat modernitas seperti panser raksasa
lepas kendali yang membuat tidak aman.
Berhubungan dengan
identitas, Giddens mendefinisikan dunia modern sebagai “dunia refleksi yang
meluas hingga ke inti diri….kedirian menjadi sebuah proyek refleksif”. Artinya;
diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah dan dibentuk; tanggung jawab
individu bukan hanya pada menciptakan dan memelihara kedirian tetapi mencakup
semua hal; diri juga merupakan produk dari eksplorasi dan produk dari hubungan
social yang intim. Dalam hidup modern, tubuh ditarik organisasi refleksi
kehidupan social. Manusia bukan hanya merencanakan diri tapi
juga tubuh. Akibatnya
tubuh pun tunduk pada berbagai jenis rezim seperti buku diet, fitness dll yang
tak hanya membantu individu membentuk tubuh mereka tapi juga memberikan
kontribusi terhadap refleksivitas modernitas pada umumnya.
Modernitas dan
intimasi. Giddens mengkaji tentang transfomasi keintiman yang bergerak
pada konsep hubungan murni yaitu situasi dimana hubungan social berlangsung
demi kepentingan hidup social itu sendiri, demi sesuatu yang bakal didapatkan
oleh setiap orang dari meneruskan hubungan dengan orang lain; hubungan itu hanya
akan dilanjutkan sejauh diperkirakan oleh kedua belah pihak dapat memberikan
kepuasan yang cukup bagi setiap orang yang berhubungan tersebut. Dalam hal
keintiman, hubungan murni ditandai oleh komunikasi emosional dengan diri
sendiri dan orang lain dalam konteks hubungan seksual dan kesamaan emosinal.
Giddens tidak bermaksud mengusulkan kebebasan seksual atau pluralism seksual,
tetapi mendesak perubahan moral dan etika yang lebih besar. Emansipasi seksual
dapat menjadi perantara dalam mereorganisasi emosional kehidupan social.
2.3.7.3
Walt Whitman Rostow
Rostow adalah seorang
ekonom Amerika Serikat dan ahli teori politik yang menjabat sebagai Asisten
Khusus untuk Urusan Keamanan Nasional untuk Presiden AS Lyndon B. Johnson. Ia
lahir pada tanggal 7 Oktober 1916 di New York City, New York. Walt Rostow
adalah salah satu dari tiga anak pasangan Victor Rostow dan Lillian
Helman Rostow. Orang tuanya adalah aktivis dan mereka menamakan Walt Whitman
Rostow dari Walt Whitman, seorang penyair Amerika. Ibu Rostow adalah putri dari
imigran Yahudi Rusia, ayahnya, yang juga seorang Yahudi, beremigrasi dari
Yahudi pada tahun 1904. Saudara Walt Rosow, Eugene nantinya menjadi dekan
Fakultas Hukum Yale.
Ketika Walt Rostow
berusia delapan tahun, keluarganya pindah ke New Haven, Connecticut, yang
merupakan rumah dari Universitas Yale, dengan tujuan nantinya dapat
memasukkannya ke universitas tersebut. Rostow diterima di universitas Yale pada
usia lima belas tahun, dan lulus dengan B.A. pada umur sembilas tahun. Dia
mendapatkan Rhodes Scholar dan menghabiskan dua tahun di Universitas
Oxford. Dan lalu kembali ke Yale untuk studi pascasarjana di bidang ekonomi.
Pada tahun 1938, ia mendapatkan gelar Ph.D.. Dua tahun kemudian, ia bergabung
dengan departemen ekonomi di Universitas Columbia sebagai instruktur.
Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi ini diklasifikan
sebagai teori modernisasi. Artikel Walt Whitman Rostow yang dimuat dalam Economics
Journal pada Maret 1956 berjudul The Take-Off Into Self-Sustained
Growth pada awalnya memuat ide sederhana bahwa transformasi ekonomi setiap
negara dapat ditelisik dari aspek sejarah pertumbuhan ekonominya hanya dalam
tiga tahap: tahap prekondisi tinggal landas (yang membutuhkan waktu
berabad-abad lamanya), tahap tinggal landas (20-30 tahun), dan tahap kemandirian
ekonomi yang terjadi secara terus-menerus.
Walt Whitman Rostow kemudian mengembangkan ide tentang
perspektif identifikasi dimensi ekonomi tersebut menjadi lima tahap kategori
dalam bukunya The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto yang diterbitkan pada tahun 1960. Ia meluncurkan teorinya
sebagai ‘sebuah manifesto anti-komunis’ sebagaimana tertulis dalam bentuk
subjudul. Rostow menjadikan teorinya sebagai alternatif bagi teori Karl Marx
mengenai sejarah modern. Fokusnya pada peningkatan pendapatan per kapita, Buku
itu kemudian mengalami pengembangan dan variasi pada tahun 1978 dan 1980.
Rostow pulalah yang membuat distingsi antara sektor
tradisional dan sektor kapitalis modern. Frasa-frasa ini terkenal dengan
terminologi ‘less developed’, untuk menyebut kondisi suatu negara yang
masih mengandalkan sektor tradisional, dan terminologi ’more developed’
untuk menyebut kondisi suatu negara yang sudah mencapai tahap industrialisasi
dengan mengandalkan sektor kapitalis modern.
W.W. Rostow merupakan seorang ekonom Amerika Serikat yang
menjadi Bapak Teori Pembangunan dan Pertumbuhan. Teorinya mempengaruhi model
pembangunan di hampir semua Dunia Ketiga. Pikiran Rostow pada dasarnya
dikembangkan dalam konteks perang dingin serta membendung pengaruh sosialisme.
Itulah makanya, pikiran Rostow pertama dituangkan dalam makalah yang secara
jelas sebagai manifesto non-komunis. Dalam tulisan yang berjudul The
Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, Rostow membentangkan
pandangannya tentang modernisasi yang dianggapnya sebagai cara untuk membendung
semangat sosialisme.
Menurut Rostow proses pembangunan
ekonomi bisa dibedakan kedalam lima tahap:
1.
Masyarakat tradisional
Sistem ekonomi yang
mendominasi masyarakat tradisional adalah pertanian, dengan cara-cara bertani
yang tradisional. Produktivitas kerja manusia lebih rendah bila dibandingkan
dengan tahapan pertumbuhan berikutnya. Masyarakat ini dicirikan oleh struktur
hirarkis sehingga mobilitas sosial dan vertikal rendah. Pada masyarakat tradisional
ilmu pengetahuan belum begitu banyak dikuasai, karena masyarakat pada saat itu,
masih mempercayai kepercayaan-kepercayaan tentang kekuatan diluar kekuasaan
menusia atau hal gaib . manusia yang percaya akan hal demikian, tunduk kepada
alam dan belum bias menguasai alam akibatnya produksi sangat terbatas
masyarakat tradisioanal itu cenderung bersifat statis (kemajuan berjalan sangat
lamban) produksi dipakai untuk konsumsi sendiri, tidak ada di investasi.
Generasi ke generasi tidak ada perkembangan , dalam hal ini yaitu antara
orangtua dan anaknya, memilki pekerjaan yang sama dan keduduakn yang sederajat
.
Ciri-ciri tahap masyarakat
tradisional adalah sebagai berikut:
·
Fungsi Produksi
terbatas, cara produksi masih primitif, dan tingkat produktifitas masyarakat
rendah.
·
Struktur sosial
bersifat hierarkis, yaitu kedudukan masyarakat tidak berbeda dengan nenek
moyang mereka.
·
Kegiatan politik dan
pemerintahan di daerah-daerah berada di tangan tuan tanah.
2.
Pra-kondisi
tinggal landas
Selama tahapan ini,
tingkat investasi menjadi lebih tinggi dan hal itu memulai sebuah pembangunan
yang dinamis. Model perkembangan ini merupakan hasil revolusi industri.
Konsekuensi perubahan ini, yang mencakup juga pada perkembangan pertanian,
yaitu tekanan kerja pada sektor-sektor primer berlebihan. Sebuah prasyarat
untuk pra-kondisi tinggal landas adalah revolusi industri yang berlangsung
dalam satu abad terakhir.
Pembangunan ekonomi
menurut Rostow sadalah suatu proses yang menyebabkan perubahan karekteristik
penting suatu masyarakat, misalnya perubahan keadaan sistem politik, struktur
social, system nilai dalam masyarakat dan struktur ekonominya. Jika perubahan
seperti itu terjadi, maka pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan sudah terjadi.
Suatu masyarakat yang sudah mencapai proses pertumbuhan yang demikian sifatnya,
dimana pertumbuhan ekonomi sudah sering terjadi, boleh dianggap sudah berada
pada tahap prasyarat tinggal landas.
Tahap prasyarat tinggal
landas ini didefinisikan Rostow sebagai suatu masa transisi dimana masyarakat
mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri
(self-sustainable growth). Menurut Rostow, pada tahap ini dan sesudhnya
pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara otomatis.
3.
Tinggal landas (Lepas
Landas)
Tahapan ini dicirikan
dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Karakteristik utama dari pertumbuhan
ekonomi ini adalah pertumbuhan dari dalam yang berkelanjutan yang tidak
membutuhkan dorongan dari luar. Seperti, industri tekstil di Inggris, beberapa
industri dapat mendukung pembangunan. Secara umum “tinggal landas” terjadi
dalam dua atau tiga dekade terakhir. Misalnya, di Inggris telah berlangsung
sejak pertengahan abad ke-17 atau di Jerman pada akhir abad ke-17.
Pada tahap tinggal
landas, pertumbuhan ekonomi selalu terjadi. Pada awal tahap ini terjadi
perubahan yang drastis dalam masyarakat seperti seperti revolusi politik,
terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau berupa terbukanya pasar
baru. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut secara teratur akan
tercipta inovasi-inovasi dan peningkatan investasi. Investasi yang semakin
tinggi ini akan mempercepat laju pertumbuhan pendapatan nasional dan melebihi
tingkat pertumbuhan penduduk. Denga demikian tingkat pendapatan perkapita
semakin besar.
4.
Menuju Kedewasaan
Setelah lepas landas
akan terjadi proses kemajuan yang terus bergerak ke depan, meskipun
kadang-kadang terjadi pasang surut. Pendapatan asional selalu di investasikan
kembali sebesar 10% sampai 20%, untuk mengatasi persoalan pertambahan penduduk.
Kedewasaan pembangunan ditandai
oleh investasi yang terus-menerus antara 40 hingga 60 persen. Dalam tahap ini
mulai bermunculan industri dengan teknologi baru, misalnya industri kimia atau
industri listrik. Ini merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial.
Pada umumnya, tahapan ini dimulai sekitar 60 tahun setelah tinggal landas. Di
Eropa, tahapan ini berlangsung sejak tahun 1900.
Kedewasaan dimulai
ketika perkembangan industry terjadi tidak saja meliputi teknik-tiknik
produksi, tetapi juga dalam aneka barang yang diproduksi. Yang diproduksikan
bukan saja terbatas pada barang konsumsi, tetapi juga barang modal.
5.
Era konsumsi
tinggi
Ini merupakan tahapan
terakhir dari lima tahap model pembangunan Rostow. Pada tahap ini, sebagian
besar masyarakat hidup makmur. Orang-orang yang hidup di masyarakat itu
mendapat kemakmuran dan keseberagaman sekaligus. Menurut Rostow, saat ini
masyarakat yang sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat atau
Utara.
Pada tahap ini
perhatian masyarakat sudah lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan
dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat bukan lagi kepada masalah
produksi.
Terdapat 3 macam tujuan masyarakat
atau negara yaitu:
1.
Memperbesar kekuasaan
dan pengaruh ke luar negeri dan kecenderungan ini bisa berakhir pada penjajahan
terhadap bangsa lain.
2. Menciptakan
negara kesejahteraan dengan cara mengusahakan terciptanya pembagian pendapatan
yang lebih merata melalui sistem pajak yang progresif
3. Meningkatkan
konsumsi masyarakat melebihi kebutuhan pokok yang meliputi pula barang yang
tahan lama dan barang mewah.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Dari
penjelasan mengani pengertian teori-teori menurut para ahli di atas dapat di
simpulkan bahwa pemikiran mereka mengenai teori-teori tersebut sama namun dari
tahun ke tahun pengertian yang sudah lama lebih di kembangkan lagi menjadi
pengertian yang lebih singkat dan jelas namun memiliki arti yang tidak berbeda
jauh dengan pengertian sebelumnya.
Hal itu
dikarenakan pemikiran orang modern lebih cepat dan melihat dari permasalahan
sosiologi jaman sekarang pun lebih beragam daripada jaman dahulu, sehingga
pemahaman yang lama harus di ubah sesuai dengan waktu dimana para ahli tersebut
tinggal.
Bukan
berarti pemahaman yang sudah lalu ditinggalkan begitu saja, pemahaman yang
sudah lalu merupakan pedoman bagi para ahli jaman sekarang untuk dijadikan
bahan pemikiran untuk mengembangkan teori-teori tersebut dan sebagai dasar
penelitian.